"... hapus jarak lo dari Aldi karena ... gue. Demi gue?"
(Namakamu) dapat mendengar permintaan Iqbaal dengan jelas. Mata bulatnya bergerak ke kanan dan ke kiri. Sama sekali tidak menemukan adanya 'kebohongan' di mata laki-laki itu.
"(Namakamu) ...." Iqbaal menunggu (Namakamu) memberinya tanggapan. Namun sebelum (Namakamu) sempat menjawab, suara gaduh dari arah belakang membuat keduanya terperanjat.
(Namakamu) berdiri, begitu juga dengan Iqbaal.
Keduanya saling melempar pandang. Tong sampah yang ada di ruang seni tiba-tiba terjatuh dan semua isinya berserakkan di lantai.
"Iqbaal ... lo tahu kan kalau gue masih sayang sama Aldi." Mungkin sekarang ... gue juga sayang sama lo.
(Namakamu) meneruskan perkataannya dalam hati dan yang didengar Iqbaal hanya penolakkan halus dari bibir (Namakamu).
"Gue tahu." Iqbaal mengangguk. "Apa gue nggak bisa ... jadi orang yang lo sayangi?" tanya Iqbaal.
'Sebelum lo minta, gue udah sayang sama lo.' (Namakamu) tersenyum getir. Iqbaal tidak akan bisa mendengar suara hatinya. Dia bebas berkata apa pun tanpa takut ketahuan. "Gue sayang kok sama lo. Sebagai teman." Tapi kok, gue nggak yakin ya? Haduh. Gue bingung.
Iqbaal menggaruk belakang lehernya. Menahan rasa kecewa. "Jadi jarak gue sama lo cuma sebagai teman?"
(Namakamu) mengangguk pelan. "Memangnya ada opsi lain selain sebagai teman?"
"Keberadaan gue buat lo, nggak bisa bantu lo lupain Aldi?" Entahlah, hari ini Iqbaal terlihat tidak bisa me-rem emosinya. Semua yang dia pikirkan, dia katakan pada (Namakamu). Dia terlampau mengkhawatirkan (Namakamu).
"Gue nggak akan lupain Aldi."
Mungkin Iqbaal harus menyesali keberaniannya hari ini, untuk pertanyaan yang tidak akan sesuai dengan harapannya sendiri atau ... untuk perasaannya yang terpaut untuk (Namakamu).
"Maaf."
Iqbaal menghela napas panjang. "Nggak perlu minta maaf. Kalau itu memang sulit buat lo, gue paham."
'Maaf karena gue nggak paham sama perasaan gue sendiri, Baal.'
(Namakamu) mengiba dalam hati. Iqbaal yang baik, yang selalu menolongnya, mengkhawatirkannya, hari ini, baru saja dilukai hatinya oleh orang yang selalu dia prioritaskan.
***
Iqbaal berjalan tanpa minat melewati troroar memanjang menuju caffe Arghi. Dia akan mengambil semua barang-barangnya dan segera mencari tempat tinggal.
Dia tidak mungkin menyusahkan Arghi lebih lama. Rasanya, banyak 'ketidak-enakkan' yang Iqbaal rasakan.
Dia tidak ingin merepotkan atau menjadi beban bagi orang lain.
Dentingan pintu caffe berbunyi saat Iqbaal masuk.
Keadaan di caffe titik teduh sesuai dengan dugaannya, sangat ramai.
Kalau Iqbaal tidak jalan hati-hati, dia bisa saja bersinggungan dengan pengunjung caffe.
Iqbaal berjuang untuk sampai di depan bartender. Di mana ada Arghi yang sedang sibuk melayani pembeli.
"Ghi, kunci gudang mana? Gue mau ambil barang-barang gue."
"Hah? Apa?!"
Arghi sepertinya tidak mendengar. Antrian memanjang dan obrolan sana-sini membuat fokusnya gampang teralih.
Iqbaal tidak punya pilihan selain masuk ke dalam bartender melalui pintu kecil yang bersebrangan dengan dapur, tempat para cheff memasak.
"Lo tadi bilang apa?--Oh iya, chicken cheese dua, bubble tea empat, adalagi?" Arghi memijat pesanan pembeli melalui layar komputer. "--Baal? Sorry kepenggal. Pegawai satunya resign nih, gue jadi ribet sendiri." Arghi sedikit menoleh ke arah Iqbaal. Lalu ke samping, ke ruang di mana rekannya harusnya berdiri di situ. Melayani pembeli sepertinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scary Voice [IqNam Series]✅
RomanceIqbaal Dhiafakhri bisa mendengar suara hati orang lain tapi ... dia tidak bisa mendengar suara hati (Namakamu) Falsafa. Iqbaal juga bisa melihat makhluk ghaib yang hidup berdampingan dengan manusia. Lalu secara kebetulan, dia bisa melihat arwah keka...