Halil duduk di meja yang kosong di café milik sahabat kakak iparnya, Galih. Dia baru saja sampai di Bandung dan karena merasa lapar, dia membelokan mobil ke arah G&G Café.
"Widih, pewaris Turkish House nongol juga disini. Darimana?" Galih, pemilik café sekaligus sahabat kakak iparnya, Gibran menyapanya. Pria berusia awal empat puluhan itu duduk di kursi di seberang Halil.
"Lapar, Bang. Minta makan." Ucapnya sambil tersenyum miring kepada pria yang sudah ia anggap sebagai kakak itu.
"Lah, kok kesini. Kenapa gak pulang ke rumah kakak-kakakmu?" Galih balik bertanya namun tangannya bergerak meraih tablet yang berisikan menu makanan.
"Males ah, kalo ke tempatnya kak Fali nanti malah kena ocehan. Ke rumah kak Qilla pastinya lagi sibuk ngurusin toko kue." Jawab Halil malas-malasan. "Gue mau makanan yang enak dan bikin kenyang." Ucapnya yang tahu kalau Galih sedang mencarikan menu yang tepat untuknya. Galih menganggukkan kepala dan setelah memilih, ia kembali meletakkan tablet di atas meja.
Mereka berbincang selama beberapa saat sambil menunggu makanan datang. Café memang tidak terlalu ramai karena jam makan siang sudah lewat dari waktunya. Yang dia lihat hanya beberapa anak muda yang sedang duduk dan nongkrong dengan laptop menyala di beberapa tempat. Jelas tampak asyik mengerjakan sesuatu sambil menikmati cemilan dan minuman manis yang ada di menu café.
"Loe beneran hebat, Bang. Belasan tahun mertahanin ini café. Orang lain udah bangkrut, tapi loe bisa bertahan sampai sejauh ini." Puji Halil tulus.
Galih mengedikkan bahu. "Rejeki, dan inovasi." Ucapnya sambil tersenyum. "Lokasi juga." Lanjutnya tak bisa menutupi rasa bangganya. "Tapi tetep, kalo dibandingkan sama perusahaan keluarga kalian, waktu yang gue habisin buat mempertahankan café ini belum ada apa-apanya." Jawab Galih sambil memandang Halil penuh arti.
Halil mengedikkan bahu. Secara tak langsung ia terkena beban mental dengan pernyataan Galih karena saat ini, dia memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan usaha hotel dan restoran keluarganya. Dalam hatinya, Halil merasa takut kalau dia akan menjadi orang yang pada akhirnya merusak usaha yang sudah dirintis keluarganya lebih dari tujuh dasawarsa itu.
Ya, kembalinya Halil kali ini karena permintaan kakak sepupunya, Serkan. Pria yang usianya sepuluh tahun lebih tua itu mengatakan kalau dia sudah mulai kewalahan dengan usaha hotel dan restoran keluarga mereka. Dia yang dulunya suka berkelana, mengatakan kalau dia merasa mumet karena terus menerus tinggal dan mengurusi usaha. Dia ingin sejenak beristirahat dan meminta Halil untuk berbagi beban. Persis seperti yang dilakukan sepupu-sepupu mereka yang lain dalam usaha keluarga.
Halil juga tidak bisa terus mengelak. Walau bagaimanapun, Turkish House—restoran Turki—dan Levent Hotel dipercayakan oleh kakek-nenek serta orangtua, paman dan bibi mereka kepada mereka berdua sebab sepupu-sepupu Halil yang lain sudah memiliki tanggung jawab lainnya. Jadinya Halil setuju untuk tinggal dan bekerja.
Namun sejujurnya, rasa takut menguasai perasaan Halil. Ia memiliki teori yang cukup yang dia dapatkan dari Pendidikan formalnya. Dia juga mendapatkan banyak pelatihan dari kakek dan ayahnya tentang pengelolaan kedua usaha itu, namun fakta di lapangan seringkali tidak sama dengan teori, tidak sama juga dengan logika-logika yang selama ini ditanamkan ayah dan kakeknya. Halil tetap khawatir kalau dia tidak bisa mengimbangi keadaan dan malah berakhir dengan merusak segalanya.
Bukannya tidak jarang kalau pewaris pada akhirnya merusak usaha yang sudah dirintis selama puluhan tahun karena ketidakmampuan yang dipaksakan? Dan Halil tidak mau hal itu terjadi.
Saat Halil berkonsultasi dengan Galih, pria itu menyarankan supaya Halil mengetahui seluk beluk seluruh usaha keluarganya. "Seringkali, satu hal besar itu rusak karena satu hal yang kecil, macam gigi." Ucap Galih dengan ekspresi serius. "Awalnya kita tidak merasakan apa-apa dengan gigi kita. Kita merasa kita rajin menggosoknya dan merasa bahwa gigi kita sudah bersih sehingga yakin kalau kita tidak akan merasa sakit di kemudian hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mbak, I Love You (Tamat)
RomanceTersedia PDF, Cetak dan versi lengkap bisa dibaca di Karyakarsa. "Aku suka sama Mbak." Ucap Halil dengan senyum lebarnya. Innara mengerutkan dahi dan memandang pria yang usianya dua tahun lebih muda sekaligus bawahannya itu dengan tatapan tajam dan...