Part 10

315 35 5
                                    

"Dasar gila." Ucap Innara ketus seraya melangkah cepat meninggalkan Halil.

"Saya gak gila Mbak, kalo saya gila saya gak akan ada disini sekarang. Tapi bakal ada di rumah sakit jiwa." Ucap Halil tanpa sedikit pun merasa tersinggung dengan ucapan Innara.

"Kamu kenapa terus ngikutin saya? Tugas kamu udah selesai, kamu bisa balik ke tempat kamu semula." Usir Innara ketus.

"Iya saya tahu, tapi saya mau nganterin Mbak dulu ke tempat Mbak dengan selamat. Saya gak mau terjadi apa-apa sama Mbak di perjalanan."

Innara memutar bola matanya. "Memangnya apa yang bakal terjadi sama saya di perjalanan menuju kantor FO? Disini gak ada begal. Gak ada juga bencana alam." Ucapnya masih dengan nada ketusnya.

"Ya kali Mbak, ini resort bukan jalanan sepi yang rawan perampokan. Mana ada begal disini." Ucap Halil ketus. "Eh, ada sih, begal hati. Itu juga Mbak tersangkanya karena udah membegal hati aku yang cuma satu ini." Ucap Halil yang membuat Innara membuat suara seolah ia hendak muntah. Halil tersenyum saja dengan tingkah atasannya itu. "Mungkin gak akan ada bencana alam. Amit-amit jangan sampai ada." Ucap Halil cepat. "Tapi kan siapa yang tahu kalau dalam perjalanan ke ruangan Mbak, Mbak gak sengaja nabrak apa gitu sampai Mbak cedera. Atau Mbak terpeleset, jatuh trus hilang ingatan. Kan kita gak tahu."

Dan baru saja Halil mengatakan demikian, Innara tak sengaja menginjak kerikil yang membuatnya tergelincir sehingga langkahnya tidak stabil dan membuatnya hampir terjatuh. Beruntung refleks Halil bagus karena sebelum Innara tersungkur, pria itu sudah memegang lengan Innara dan meraih pinggangnya dengan cepat.

"Kan, apa kubilang. Belum juga lima menit udah kejadian aja." Ucapnya dengan cengiran lebar di wajahnya.

Innara seketika mendorong Halil kasar dan menyeimbangkan tubuhnya. "Kamu memang sengaja nyumpahin saya supaya saya jatuh ya? Dengan begitu kamu cari kesempatan buat bisa sentuh-sentuh saya. Iya kan?" Innara menatap Halil dengan tatapan menuduh.

"Lah Mbak, kalau mau nyalahin sesuatu, Mbak salahin kerikil yang ngehalangin jalan Mbak. Atau salahi sepatu Mbak karena menginjak kerikil yang lagi berjemur itu. Kalo sama saya, Mbak seharusnya ngucapin terima kasih." Tanya Halil dengan suara yang lebih rendah.

"Kenapa saya harus berterimakasih. Ada juga kamu yang minta maaf karena udah nyentuh saya tanpa ijin." Ucap Innara ketus.

"Mbak!" Halil meninggikan suaranya yang membuat Innara menatapnya terkejut. "Saya tahu Mbak berniat membuat saya illfeel dengan terus bersikap ketus seperti ini. Tapi maaf Mbak, usaha Mbak itu gak akan berhasil. Alih-alih bikin saya benci, saya justru malah makin suka sama Mbak." Ucapnya tegas yang membuat mata Innara terbelalak.

"Mbak perlu tahu ya, saya suka sama Mbak dan menerima Mbak apa adanya. Cantiknya Mbak, ketusnya Mbak, juteknya Mbak, semua saya terima tanpa tapi-tapi. Keluarga saya itu ngajarin saya kalo namanya cinta itu ya berarti kita harus nerima baik buruknya pasangan kita satu paket. Jangan setengah-setengah. Jangan cuma suka sama kebaikannya aja, tapi juga harus nerima keburukannya.

"Jadi kalo Mbak pikir dengan Mbak bersikap jutek begini saya akan mundur, Mbak salah. Saya justru akan nganggap sikap jutek Mbak sebagai bonus." Ucapnya dengan senyum manis tersungging di wajahnya. "Lagian saya udah biasa kok hidup sama perempuan jutek, semaunya, dan suka perintah. Jadi nambah satu perempuan seperti itu di hidup saya, gak akan jadi masalah." Ujarnya santai.

Innara memandang Halil dengan mata membulat lebar tak percaya. Lantas ia bergidik ngeri begitu saja. "Dasar psiko." Ucapnya lirih seraya berbalik dan meneruskan langkahnya.

"Saya jadi psiko gara-gara siapa coba? Gara-gara Mbak. Makanya, sembuhin saya. Jadikan saya cowok normal seperti semula."

"Seperti semula apanya? Sejak awal kamu udah psiko, cuma mungkin sekarang levelnya udah meningkat jadi psiko akut. Lagian kamu yang psiko kenapa saya yang harus tanggung jawab?"

Mbak, I Love You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang