Part 3
"Kakak yakin mau kuliah di luar kota?" pertanyaan itu kembali diajukan oleh ibunya.
Innara kembali memandang ibunya, tersenyum dan menganggukkan kepala. Tidak mungkin Innara mengatakan ia tidak akan pergi sementara di tangan kanannya ia sudah menenteng koper besar yang membawa semua barang pribadinya. Sisa barang-barangnya yang lain bahkan sudah ia kirim menggunakan cargo beberapa jam sebelumnya.
"Yakin gak akan berubah pikiran?" Tanya ibunya lagi dengan nada memelas. Innara memutar bola matanya karena kelakuan sang ibu. "Terus Bunda gimana? Nanti Bunda kesepian dong?" rengek ibunya seperti anak remaja.
Innara berdecak dan menggelengkan kepala. "Kesepian gimana sih Bunda ini, kan ada si kembar." Ucapnya seraya mengedikkan kepala ke arah dimana dua adik kembar laki-lakinya tertidur dalam kereta bayi.
"Ya tapi kan mereka gak bisa Bunda ajak ngobrol. Gak bisa Bunda ajak curhat. Kalo ke mall gak bisa Bunda mintai saran." Ucap ibunya dengan wajah mencebik yang membuat Innara terkekeh.
"Kan ada Zanie, Bun." Ucap Innara mengingatkan. Adik sambungnya itu berada dua langkah jauhnya di belakang mereka, berdiri tepat di samping ayahnya. Mereka sedang berada stasiun kereta api yang akan mengantarkan Innara ke kota dimana ia akan berkuliah. Ayahnya sudah menyarankannya untuk naik pesawat terbang, namun Innara menolaknya karena menurutnya perjalanan menggunakan pesawat terbang terlalu singkat. Ia juga menolak diantarkan menggunakan mobil karena hanya akan membuat mereka merasa lelah. Padahal alasan yang sebenarnya, Innara hanya tidak mau membuat semua orang kerepotan karenanya.
Semenjak memutuskan akan kuliah, Innara sudah meyakinkan dirinya sendiri kalau dia harus mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, itulah sebabnya ia lebih memilih menggunakan kendaraan umum daripada mobil ber-AC milik orangtuanya.
"Iya, tapi tetap aja gak seru." Rengek ibunya lagi. "Nanti kalo Bunda ribut sama Ayah, gak ada yang belain Bunda." Lanjutnya lagi yang membuat kekehan Innara semakin keras.
"Ya udah, tahan dulu aja ributnya sampai Nara pulang." Ucap Innara pada ibunya. "Lagian Bunda, Nara kan gak pergi selamanya. Cuma sampai selesai kuliah, habis itu Nara balik lagi kesini. Kecuali ya habis itu Nara ketemu sama cowok trus diajakin nikah. Mungkin Nara akan terus ikut dia kemanapun dia pergi." Goda Innara yang membuat ibunya berdecih.
"Kamu ini, masa iya mau langsung nikah."
"Lah, kalo udah jodoh ya gimana lagi Bun?" Ia balik bertanya pada ibunya. "Lagian kan enak kalo nikah muda, Bun. Nanti anak Nara udah dewasa, Nara nya masih muda. Sama kayak kita." Selorohnya yang membuat ibunya terkekeh.
"Kalo emang Kakak beneran mau nikah muda, nikahnya jangan sama orang jauh. Orang sini aja, biar nanti gampang kita ketemuannya." Saran ibunya yang membuat Innara memutar bola matanya.
"Kalo masih satu kampung, nanti Nara gak ngalamin yang namanya mudik dong?" candanya lagi pada sang ibu yang membuat ibunya kesal dan memukul lengannya pelan. "Lagian Nara udah rencana mau punya suami orang luar negeri Bun. Biar agak keren dikit. Bosen kalo lihat wajah lokal." Selorohnya yang membuat ibunya kembali memukul lengannya.
"Kakak, ih. Udah cari cowok lokal aja. Tapi kalo bisa yang blasteran, buat memperbaiki keturunan." Jawab ibunya seraya terkekeh yang dijawab Innara dengan anggukkan kepala. "Bunda bakal kangen sama kakak." Ucap ibunya seraya memeluknya.
"Udah, jangan manja. Kalo Bunda kangen Nara terus nanti Ayah cemburu lagi. Jadinya Nara gak diijinin pergi." Ucap Innara seraya mengedikkan kepala pada sang ayah yang saat ini berdiri dua langkah dari mereka. "Lagian malu juga sama penumpang lainnya, masa udah ibu-ibu masih nangis-nangis begini." Ejek Innara seraya mengusap wajah ibunya. "Kan malu, disangkanya ntar Nara ngapa-ngapain Bunda." Ucapnya lagi yang dijawab anggukkan sang ibu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mbak, I Love You (Tamat)
Storie d'amoreTersedia PDF, Cetak dan versi lengkap bisa dibaca di Karyakarsa. "Aku suka sama Mbak." Ucap Halil dengan senyum lebarnya. Innara mengerutkan dahi dan memandang pria yang usianya dua tahun lebih muda sekaligus bawahannya itu dengan tatapan tajam dan...