Part 8

444 46 3
                                        

"Mbak Ra, monitor." Innara melirik benda hitam kecil yang ia letakkan di atas bangku panjang yang ia duduki dan menarik napas panjang. Jam istirahatnya bahkan belum berakhir tapi gangguannya seolah tidak ada akhir.

"Ya, Nara disini. Ada apa?" Jawab Innara sebisa mungkin tidak menunjukkan malasnya.

"Tamu kabin..." Dan Innara kembali memasuki area resort sambil mendengarkan ucapan salah satu anak buahnya.

Hampir dua tahun lamanya Innara tinggal di Bali. Bekerja di sebuah resort mewah yang dimiliki oleh keluarga Indonesia-Turki.

Betah?

Tidak. Innara tidak bisa mengatakan dirinya betah atau tidak. Dia menjalani hari-harinya sebagai sebuah keharusan semata. Tidak ada lagi antusiasme. Tidak ada lagi harapan. Bahkan tidak program untuk mencapai target tertentu, tidak seperti dulu.

Innara hanya melakukan pekerjaan sebaik yang dia bisa, namun tidak menghabiskan waktunya untuk berbuat lebih. Ia tidak lagi melakukan pekerjaan lembur jika tidak terlalu darurat. Tidak terlalu bekerja keras, namun juga tidak terlalu malas. Hanya cukup untuk memenuhi tanggung jawabnya saja.

Innara meninggalkan kediaman orangtuanya dengan kesedihan dan kekecewaan. Ia seperti seorang pembuat aib yang harus menghilang secara diam-diam supaya tidak mendapat tatapan mengasihani dari orang-orang di sekitarnya. Kondisi mentalnya benar-benar drop karena dikecewakan oleh orang-orang di sekitarnya. Kepercayaan dirinya runtuh, terlebih dengan kondisi fisiknya. Innara lebih memilih untuk bersembunyi dari orang-orang. 

Butuh waktu baginya untuk sembuh secara mental dan fisik. Butuh waktu baginya untuk mengembalikan kepercayaan diri dan menaikkan kembali egonya. Untungnya disaat itu neneknya selalu menemaninya.

"Kuatlah, karena kita tidak ada gunanya juga bersedih. Ini takdir yang hanya bisa kita terima dan jalani. Allah lebih sayang kakak, karena itulah ini semua terjadi."

Ya, neneknya memang benar. Dan Innara sudah bisa menerima kenyataan sekalipun orang-orang di sekitarnya menganggapnya masih terbelenggu kesedihan.

"Abaikan ucapan orang-orang, kita gak bisa membuat mereka semua puas dan kita juga gak bisa membuat mereka tidak mengkritik kita

"Memangnya kenapa kalau pernikahan kakak batal? Itu bukan aib. Banyak orang bahkan melakukan kesalahan fatal diluar sana dan mereka tidak merasa malu sama sekali, jadi kenapa kakak harus malu?

"Ini," ucapnya seraya mengusap paha Innara. "hanya akan seperti ini untuk sementara. Jangan terpuruk karena hal kecil seperti ini.

"Kakak beruntung karena hanya mengalami patah kaki. Luka itu memang akan membekas selamanya, tapi itu masih lebih baik jika dibandingkan dengan mereka yang harus menjalani amputasi dan menjalani kehidupan disabilitas seumur hidup."

Innara menundukkan kepala dan menyadari ucapan neneknya itu memang tidak salah. Tapi tetap saja, sulit baginya menerima semua kenyataan ini.

Innara tidak menangisi fisiknya. Ia yakin ia akan sembuh meskipun tidak akan kembali seperti semula, tapi ia akan bisa berjalan kembali tanpa harus menggunakan bantuan tongkat di tangannya. Tapi Innara bersedih karena masalah yang menimpanya dan juga Rayka serta Azanie.

Innara merasa dirinya tidak melakukan kesalahan. Tapi ia juga sadar, bahwa tindakannya untuk pergi meninggalkan kedua orangtuanya membuat adanya jarak dalam keluarga kecil mereka. Meskipun jarak itu sebenarnya sudah terjadi jauh-jauh hari, namun entah orangtuanya menyadarinya dan pura-pura tidak terjadi apa-apa, Innara tidak tahu. Hanya saja, jarak itu terlihat semakin lebar saat ini. Ia tahu, kepergiannya akan membuat semua orang menyalahkan satu sama lain. Dan pemicunya adalah kepergiaannya.

Mbak, I Love You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang