Chapter 4

39.6K 2.4K 11
                                    


"Maksud Om?" tanya Ifa bingung.

Ia bukan orang yang susah mencerna ucapan orang lain, ia hanya ingin mendengarkan lebih lanjut dari Alex tentang dirinya. Sebanyak apa Alex tau tentang hidupnya sehingga pria paruh baya itu mengambil tindakan seperti ini.

"Saya tau kamu sangat menderita sejak Bima menikah dengan Amira dan perusahan Bima yang hampir saja bangkrut itu penyebab utamanya adalah Amira. Saya dengar semua kisah kamu dari Bima makanya saya memutuskan untuk menolong kamu dengan cara ini," ujar Alex.

"Mungkin dengan cara ini kamu akan bisa lepas dari jeratan Amira, Fa," kata Alex membuat Ifa mengangguk pelan.

Ada rasa haru pada hatinya ternyata Tuhan memang selalu baik pada hambanya termasuk Ifa.

"Terus soal menikah itu gimana Om?" tanya Ifa lagi.

"Akan tetap dilaksanakan," jawab Alex singkat.

Ifa menelan ludahnya dengan susah payah dan dengan sekejap bahunya langsung merosot tanda ia mulai pasrah lagi pada apa pun yang akan terjadi.

Setelahnya Ifa hanya diam hingga mobil yang kini ia naiki berhenti tepat di depan sebuah rumah yang sangat megah. Tidak layak dikatakan rumah lebih tepatnya sebuah istana yang sangat indah. Pantas saja Amira kekeh ingin menikahkan dirinya dengan Alex ternyata begini kayanya pria itu. Ini hanya rumah belum lagi harta tersimpan pria itu.

"Ayo turun," kata Alex dan diangguki Ifa.

Ifa turun dari mobil mewah itu dan mengedarkan pandangannya pada rumah yang baru saja ia sebut istana di dalam hatinya.

"Ayo kita masuk, makan malam sudah disiapkan di dalam," kata Alex berjalan duluan.

Ifa dengan lambat mengikuti dari belakang. Sepanjang jalan menuju ruang makan Ifa hanya diam.

"Tuan sudah datang," sapa seorang wanita yang baru saja meletakkan gelas berisi air putuh di atas meja.

Alex mengangguk dan mempersilahkan Ifa untuk duduk bersebelahan dengannya.
Mereka makan malam dalam diam dan sampai waktu sudah menunjukkan jam setengah sembilan pun tidak ada ungkapan apa-apa dari bibir keduanya. Alex terus terlihat sibuk dengan ponselnya dan kadang ia menerima telpon entah dari siapa. Sementara Ifa juga mengeluarkan ponsel dan memainkan ponselnya.

"Om aku mau pulang," kata Ifa membuat Alex menoleh padanya. Kemudian pria itu mengangguk dan mengantarkan Ify pulang.

****

"Kenapa sih Fa. Kok dari tadi kamu ngelamun aja?" tanya Raya saat mereka tengah duduk di kamar Vita.

Hari ini Vita mengajak Raya dan Ifa untuk menginap di rumahnya karena orang tuanya yang sedang ke Bogor menjenguk omanya yang sakit.

"Ada yang mau aku bilang sama kalian," kata Ifa membuka suara setelah beberapa kali menarik dan menghembuskan nafasnya.

"Bilang aja kali Fs. Enggak usah sok penting gitu," sahut Raya sambil memasukkan satu butir kacang polong ke mulutnya.

"Yee bukan sok penting kali Ray, yang mau aku omongin ini emang beneran penting. Banget malah!" kata Ifa sambil memperbaiki duduknya menjadi bersila dengan satu guling di atas paha.

Vita dan Raya beringsut mendekat dan memasang wajah serius pada Ifa yang kini menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya pelan. Raya dan Vita juga memastikan agar telinga mereka mendengar dengan baik setiap kata yang terlontar dari bibir sahabat mereka yang cantiknya luar biasa itu.

"Apa sih Fa yang mau kamu omongin? Tarik nafasnya sampe dalem banget gitu?" tanya Vita dengan wajah penuh penasaran.

"Aku ... ak ... a ... aku ...,"

Lagi-lagi Ifa menarik dalam nafas dan menghembuskannya pelan.

"Ck, nggak usah grogi dan terbata gitu dong Fa. Kaya orang gagap aja sih," ucap Via sedikit berdecak yang membuat Ifa melotot padanya.

"Huft, aku yakin kalau kalian pasti bakal kaget banget dengar kabar ini," kata Ifa. 

"Ya kalo kamu enggak ngomong mana ada kita kaget Fa, yang ada kita geram tau sama kamu!" jawab Raya seraya berdengus sebal pada Ifa.

"Aku dijodohin," ucap Ifa singkat.

Mendengar itu Vita dan Raya yang baru mencerna ucapan Ifa langsung kaget. Persis seperti apa yang ia bayangkan sebelumnya, dan Ifa bahkan sebelumnya bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah kedua sahabatnya ini.

"Kamu serius Fa? Jangan becanda deh, becandaannya enggak lucu banget," kata Vita.

"Nggak mungkin kali Fa. Aku nggak percaya," sahut Raya juga.

Ifa menurunkan bahunya sehingga tampak merosot. Tatapan matanya kini serius dan tidak ada raut bercanda sama sekali di wajah cantiknya.

"Aku serius kok, dan aku semua juga nggak butuh rasa percaya atau nggak percaya kalian, kan? Jelasnya sekarang aku lagi dijodohin sama orang tua aku," kata Ifa dengan wajah sedih.

Vita mengelus bahu Ifa, sadar sepertinya sahabatnya itu berat dengan keputusan orang tuanya. Mendapat sentuhan tangan dari Vita di bahunya membuat Ifa tidak bisa menahan bulir bening yang sejak tadi ia tahan untuk terjatuh. Kristal bening itu kini berlabuh pada pipi putihnya.

"Nangis aja Fa, kita nggak akan larang kamu untuk nangis," kata Vita kini merangkul tubuh sang sahabat ke dalam pelukannya.

Begitu pun dengan Raya, gadis dengan tubuh agak berisi itu ikut mendekat dan juga merangkul Vita serta Ifa.

Ifa mendengar dan melakukan apa yang Vita katakan. Ia menangis dengan sejadi-jadinya di dalam rengkuhan kedua sahabatnya. Saat seperti ini bukan nasihat atau masukan yang Ifa butuhkan tapi adanya teman untuk sekedar bisa berbagi kesedihan, itu saja sudah cukup.

"Aku nggak tau harus apa," kata Ifa dengan nafas berdurasi cepat lantas kembali pelan tanda segugukan.

"Orang tua aku jodohin aku dengan temen papa," kata Ifa setelah bisa menguasai dirinya dari tangis yang tadi pecah begitu saja. Ifa sudah melonggarkan dirinya dari pelukan kedua sahabatnya.

"Maksudnya anak dari temen papa kamu Fa?" tanya Vita ingin Ifa memperjelas ucapannya.

Melihat Ifa menggeleng pelan membuat dahi Raya bergelombang sedangkan Vita membolakan matanya. Seolah mengerti dengan maksud Ifa.

"Bukan, bukan anak dari temen papa. Aku dijodohkan sama temen papa yang namanya Om Alex," jawab Ifa dengan suara serak khas habis menangis.

"Om? Berarti usianya...?" Raya menggantung ucapannya dan melihat Ifa mengangguk pelan dengan bibir terlihat ke dalam.

"Nggak tau lagi gimana nasib aku kedepannya," kata Ifa.

"Enggak Fa. Kamu orang baik dan aku yakin Tuhan udah sediakan sesuatu yang baik untuk kamu, kita nggak tau kan permainan takdir itu gimana?" ujar Vita yang membuat Ifa tersenyum miris dengan mata yang kembali berkaca.

Vita berkata seperti itu bukan hanya sekedar untuk menghibur Ifa tapi entah kenapa ia sangat yakin jika Ifa akan bahagia dan air mata Ifa sekarang hanya akan sia-sia. Jauh di lubuk hatinya, Vita membenarkan ucapannya tadi.

Kamu Milikku (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang