Chapter 40

15.4K 749 2
                                    


Ifa tidak henti menangis sedari tadi. Perasaannya benar-benar hancur. Gio mengatakan cinta padanya dan berhasil membuat Ifa merasa bagaimana berada di atas awan, tapi seketika angin datang dan membuat Ifa jatuh lagi dengan begitu dahsyatnya ke bumi yang terasa terjal.

Bolehkan Ifa mengatakan jika angin yang membuatnya terjatuh itu adalah Rani? Tidak. Itu tidak akan Ifa lakukan karena ia sendiri sadar jika menang kehidupan sudah ada yang mengatur dan mungkin saat ini ia sedang dimainkan oleh takdir.

Ifa mengusap pipinya yang basah oleh air mata saat ponselnya terlihat menyala. Bibirnya sedikit tersenyum melihat nama Bima tertera di sana.

"Assalamualaikum, iya Pa?" sapa Ifa dengan sangat lembut. Berusaha menyembunyikan suara seraknya yang entah berhasil atau tidak untuk ia sembunyikan dari sang papa.

"Waalaikumussalam, putri kesayangannya Papa," jawab Bima dengan sangat bahagia di seberang sana.

"Suara kamu kenapa Nak, kenapa Papa dengernya kayak serak gitu ya?" tanya Bima.

Ifa seketika menahan nafas dan bingung akan menjawab apa pada Bima.

"Enggak kok Pa. Ifa baru bangun tidur dan nggak tau tiba-tiba suara Ifa jadi serak gini," jawab Ifa sedikit terbata.

"Oh iya. Ini pintunya kenapa dikunci Nak. Papa di depan loh," kata Bima yang membuat Ifa memekik tertahan.

Ifa dengan cepat menghapus air mata dan memaksimalkan sedikit make up untuk menyamarkan wajahnya yang memerah akibat keterlaluan menangis.

"Bentar Pa, biar Ifa buka pintunya," kata Ifa.

Ifa segera keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga dengan langkah cepat, membuka pintu dan langsung memeluk erat tubuh sang papa yang ternyata sudah lebih dulu merentangkan tangan untuk menyambut pelukan dari sang putri.

"Papa, Ifa kangen banget sama Papa," pekik Ifa dan tidak kuasa menahan air matanya.

Bima memeluk putrinya dengan sangat erat dan tidak lupa mengecup kening Ifa dengan sayang.

"Papa juga kangen sama Ifa," kata Bima dan mengacak rambut Ifa sedikit.

"Masuk yuk Pa," kata Ifa dan membawa Bima masuk.

Mereka duduk di sofa ruang tengah dan ternyata di sambut dengan senyuman oleh Amira.

"Papa kenapa nggak ngabarin dulu baru pulang?" tanya Amira dengan nada sok manis.

"Iya Ma, soalnya pulangnya mendadak dan enggak sempet kasih kabar tapi Papa berhasil kan kasih surprise buat kalian?" kata Bima.

Ifa dan Amira tersenyum dan mengangguk serentak.

"Oh iya Papa mandi dulu ya Pa, biar Mama siapin airnya," ucap Amira.

"Iya boleh Ma. Mama duluan aja ya," jawab Bima yang langsung diangguki oleh Amira.

"Sayang, Papa ke kamar dulu ya, nanti kita ngobrol lagi," kata Bima pada Ifa. Ia juga mengelus rambut sang putri.

"Iya Pa. Ifa juga langsung ke kamar ya, soalnya tadi lagi rapiin lemari," jawab Ifa.

****

"Non Ifa. Non tolong buka pintunya," panggil Bik Imah yang mengetuk pintu kamar Ifa dengan tergesa-gesa.

Ifa menghampiri pintu dan membukanya. Mata Ifa benar-benar mengantuk dan ia baru saja menanis karena merindukan Gio. Ah, sungguh hatinya belum bisa melupakan Gio walau sedikit.

"Ada apa Bik? Udah malam kok teriak?" tanya Ifa.

"It ... itu Non. Bapak...," jawab Bik Imah terbata.

"Papa? Papa kenapa Bik?" tanya Ifa lagi. Kali ini dengan nada tidak sabaran.

"Ba ... bapak pingsan Non," jawab Bik Imah.

Ifa membolakan matanya. Seketika ia langsung berlari ke ruang tengah, di mana Bima berada.

"Papa," panggil Ifa dengan nada khawatir.

Tangan Bima yang ada di genggaman Ify terasa dingin dan itu membuat Ifa beribu kali lebih panik dari awal ia dikabari oleh Bik Imah tadi.

"Pa. Papa bangun, jangan buat Ifs khawatir!" kata Ifa dengan nada yang semakin khawatir.

Air matanya kini sudah menetes begitu saja ke pipi, dengan tangan gemetar Ifa mengambil ponsel dari saku baju tidurnya dan menelpon seorang dokter yang biasa menangani keluarga mereka.

"Bik, bantu Ifa angkat papa ke kamar ya," pinta Ifa pada Bik Imah.

Bik Imah mengangguk. Agak sedikit kesusahan keduanya membopong tubuh Bima ke kamar pria paruh baya itu.

Hanya butuh waktu sepuluh menit, dokter yang Ifa pesan tadi datang dan segera memeriksa keadaan Bima.

"Gimana sama papa Dok?" tanya Ifa.

Sang dokter menatap Ifa sekilas kemudian menghela nafas pelan dan menggeleng. Jantung Ifa terasa berdenyut lebih kencang. Ia takut, sangat takut sesuatu terjadi pada sang papa.

"Ada apa Dok," tanya Ifa lagi.

"Pak Bima sudah menghembuskan nafas terakhirnya sejak dua puluh menit yang lalu," jawab sang dokter yang membuat dada Ifa seketika sesak.

"Papa," gumam Ifa pelan.

Ia mendekati Bima yang sudah tidak bernyawa dengan tangis yang untuk ditahan. Ifa memeluk tubuh Bima dengan derai air mata yang terus mengalir.

"Papa...! Kenapa harus secepat ini. Ifa bahkan masih belum bisa terima kepergian mama tapi sekarang Papa ikut tinggalkan Ifa hiks...,"

"Ifa sendiri Pa sekarang. Nggak ada siapa-siapa lagi yang sayang sama Ifa,"

"Kak Gio juga tinggalin Ify. Terus sekarang Ifa sama siapa? Hiks," tangis Ifa.

"Non yang sabar," kata Bik Imah mengelus pundak Ifa.

Bik Imah dan sang dokter menatap sedih dan penuh kasihan ada Ifa. Baru saja tadi sore Gio pergi meninggalkannya dan kini papanya, orang yang sangat Ifa sayangi harus pergi meninggalkan IFa dan itu untuk selama-lamanya.

"Ada apa ini?" ujar suara Amira yang baru membuka pintu.

Wanita itu menatap pada tempat tidur di mana tubuh Bima terbaring, kemudian beralih pada Ifa yang masih memeluk Bima. Kerutan di dahinya semakin bertambah saat melihat Bik Imah juga ikut menangis.

"Papa kenapa Fa?" tanyanya pada Ifa.

Ifa melepaskan tubuh Bima dari pelukannya dan menatap Amira sedih.

"Papa meninggal Ma," hanya kata itu yang bisa Ifa ucapkan.

Kamu Milikku (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang