Chapter 7

34.9K 2.3K 22
                                    


Ifa menghembuskan nafas lega saat mobil yang ia naiki berhenti tepat di depan rumahnya. Ia sedikit melirik ke samping kanan, tepatnya pada kursi kemudi. Pria yang tadi menolongnya memaksa Ifa untuk memberitahu alamat rumahnya dan dengan terpaksa juga Ifa mau diantar olehnya ke rumah ini.

"Bener ini rumah kamu?" tanya pria itu sambil mengintip sedikit area luar rumah Ifa dari celah jendela mobilnya.

"I ... iya Pak," jawab Ifa pelan.

Ia bingung harus memanggil apa pada pria di sampingnya ini. Dari wajahnya sepertinya tidak cocok jika Ifa memanggil namanya saja. Oh iya, selain itu Ifa juga belum tau siapa namanya.

"Pak? aku belum setua Ifa," ucap pria itu seolah tidak terima atas panggilan yang Ifa gunakan untuknya.

Ifa menautkan kedua alisnya. Tampak seperti orang yang tengah dirundung kebingungan.

"Ifa? Ba ... ops emm Kakak tau nama aku?" tanyanya setelah berhasil menemukan panggilan yang dirasa cocok untuk pria ini.

Pria itu tampak gelagapan mendengar pertanyaan Ifa. Bola matanya memutar mencari kata yang pas untuk menjawab pertanyaan atas ucapannya tadi.

"Sial kenapa bisa keceplosan sih!" racaunya dalam hati.

Matanya berbinar saat melihat pada gadis itu lagi dan tepat saat itu juga ia tersenyum. Jawaban untuk mengelabui gadis ini ada di depan matanya.

"Dari mana Kakak tau kalau nama aku Ifa?" tanya Ifa lagi seolah sangat penasaran. Bukan hanya seolah tapi ia memang sangat penasaran.

Ifa mengerutkan dahinya dan matanya melotot saat mata pria itu mengarah pada tubuh bagian depannya tepatnya pada daerah bawah lehernya.

"Jangan kurang ajar ya!" pekiknya dan mencoba menyilangkan kedua tangan pada dadanya, menatap pria itu dengan tatapan horor.

Kerutan di kening Ifa tadi beralih pada kening pria yang ada di sampingnya. Pria itu mengangguk pelan, mengerti maksud Ifa. Menghela nafas panjang kemudian pria itu menegakkan duduknya menghadap ke depan sepenuhnya. Raut wajahnya juga diubah menjadi sedingin biasanya.

"Aku tau nama kamu dari kalung yang sedang kamu pake itu," katanya nyaris tanpa nada.

Ifa menghela lega dan meraba pada area lehernya yang memang dihiasi kalung bertuliskan IFA di bagian tengah.

"Emm oh. Makasih ya Kak, udah mau nolong aku dan antar aku juga. Aku nggak tau tadi kalau Kakak enggak datang," ucap Ifa dan memasang senyum tulusnya.

Badannya ia miringkan ke kanan agar menghadap pada pria tampan yang dia pun tidak tau namanya itu.

Pria itu mengangguk dan ikut menoleh pada Ifa. Menatap dalam mata Ifa. Keduanya terdiam hanya pancaran mata yang seolah saling berbicara.

"Cantik," gumam pria itu dengan sedikit senyum.

Ifa mengerjapkan matanya dan merasa pipinya memanas hanya karena satu kata yang keluar dari bibir pria itu.

"K ... kak," kata Ifa gugup saat telapak tangan pria itu menangkup sebelah pipinya.

Badannya terasa lemas dan tidak bisa bernafas sama sekali. Sentuhan lembut pemuda itu seolah mampu mengembalikan laju aliran darah Ifa.

"Kamu cantik," kata pria itu lagi.

Setelah itu ia melepaskan tangannya dari pipi Ifa berganti mengadahkan telapak tangannya yang lagi-lagi membuat Ifa mengerutkan keningnya.

"Maksudnya?" tanya Ifa bingung.

"Ponsel kamu," kata pria itu.

Ifa tidak bertanya lagi melainkan merogoh saku jins yang ia kenakan dan menyerahkan ponselnya pada pria itu. Entah untuk apa tapi ia percaya jika pria itu tidak mungkin berbuat yang tidak-tidak pada ponselnya.

"Ini nomer ponsel aku. Kalau butuh bantuan langsung telpon," kata pria itu.

Ifa menahan nafas saat melihat nomor yang sudah diberi nama oleh pria itu. "Takdirku".
Desiran aneh seketika menyeruak dalam dada Ifa. Pria itu berniat misterius rupanya.

"Nama Kakak Takdir?" tanya Ifa bak orang yang tidak tau apa-apa alias bodoh.

"Iya," jawab pria itu singkat dan menekan tombol yang otomatis membuka pintu mobil di sebelah Ifa.

"Sekarang kamu masuk. Aku nggak mau orang tua kamu atau orang yang melihat kita di sini beranggapan yang aneh-aneh," kata pria itu.

Ifa mengangguk saja meski masih dalam keadaan yang bingung. Ia Lantas mengambil plastik belanjaannya tadi dari jok belakang dan turun dari mobil pria itu. Memberi senyuman yang teramat manis pada pria yang ternyata memperhatikan  pergerakannya sedari tadi.

Setelah mobil pria tadi menghilang, ah lebih tepatnya melaju dari pekarangan rumahnya, Ifa menatap ponselnya dan menyunggingkan senyum melihat nama kontak yang baru saja dibuat oleh pria itu.

"Dia tampan ... sebagai gadis biasa aku berani bilang kalau hatiku jatuh pada pesonanya," gumam Ifa tersenyum. Namun, senyum itu luntur saat ia ingat jika saat ini ia sedang dalam masa perjodohan dengan Alex.  Seketika dada Ifa terasa terhimpit.

"Huft, aku nggak boleh banyak ngayal.  Sebentar lagi aku akan jadi istri Om Alex," katanya sedih.

"Andai aja perjodohan itu nggak ada, pasti aku bebas memilih dengan siapa nanti aku akan bersanding," kata Ifa lagi, tapi semua itu hanya angan belaka. Ifa merasa dirinya bagaikan robot mainan yang siap beroperasi dengan kendalian manusia.

***

"Pernikahannya kapan sih Pa?" tanya Rio saat lagi-lagi ia dan Alex duduk berdua di rumah mereka.

"Papa jadi nikah?" tanya Vano yang kali ini ikut nimbrung.

"Bukan Papa tapi Kak Gio," jawab Alex.

"Oh kapan Pa?" tanya Vano yang diangguki Gio. Keduanya menatap serius pada Alex.

"Kamu maunya kapan Yo?" tanya balik Alex pada Gio.

Ia hanya ingin seberapa besar keinginan anaknya iyu untuk menikahi putri satu-satunya dari sahabatnya.

"Besok juga Gio siap, Pa," jawab Gio tanpa ragu.

Dahi Alex langsung bergelombang melihat raut serius dari putranya. Memang putranya serius! Berbasa-basi adalah sesuatu yang sangat dihindari oleh Gio. Tidak penting alias membuang waktu saja!

"Wow! Tidak bisa boy. Pernikahan  perlu persiapan yang matang. Jadi, paling cepat minggu depan," kata Alex.

"Masih lama Pa, padahal aku cuma mau dengan cepat bisa jagain Ifa," kata Gio seakan menunjukkan wajah pasrahnya.

"Sejak kapan kamu berpikir seperti itu?" Alex menautkan alisnya dan menatap penuh tanya pada sang putra.

"Sejak tadi. Tepatnya setelah Gio nolongin Ifa yang diganggu oleh para preman jalanan," jawab Gio dengan sedikit guratan emosi.

Emosinya seperti dipancing saat mengingat hal yang terjadi pada Ifa tadi siang. Entah perasaan apa yang ada di dalam dirinya untuk gadis itu seakan ia tidak rela ada tangan yang menyentuh gadis itu baik disengaja atau tidak.

"Oke, minggu depan Ifa resmi menjadi istri kamu. So, persiapkan diri!" kata Alex yang mengerti akan tabiat putranya.

"Yuhuu, yang mau nikah. Awas aja kalo beneran cantik tak tikung nanti," gurau Vano sambil bersiul dan menangkap bantal yang dilempar oleh Gio padanya. Memilih menyelamatkan diri dengan berlari kecil ke arah kamarnya.

Kamu Milikku (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang