Chapter 27

17.7K 1K 6
                                    


Ifa keluar dari kamar mandi setelah menyiapkan air hangat untuk suaminya. Dahinya mengernyit melihat belum ada tanda-tanda Gio yang masuk ke dalam kamar. Padahal sudah sekitar sepuluh menit ia di kamar mandi.

"Katanya udah mau naik tangga, tapi kok belum nyampe ya?" pikir Ifa.

Ia duduk di samping tempat tidurnya. Mengambil ponsel dan menatap sebentar pada benda pipih itu. Sempat berpikir untuk menelpon lagi Gio, tapi tidak ia lakukan. Bukankah terlalu lebay?

"Hoam, jadi ngantuk lagi. Tidur lagi aja deh. Kalau Kak Gio mau mandi kan udah disiapin airnya," batinnya. 

Ifa merebahkan lagi tubuhnya pada tempat yang semula sempat ia tiduri. Namun, ia kembali menegakkan tubuhnya dan mengucek mata yang sempat mengantuk.

"Gimana kalau Kak Gio belum makan dan sekarang dia ada di dapur ya? Ah, aku harus panasin masakan dulu deh. Kasian Kak Gio kalau nanti makan tapi udah pada dingin," pikirnya lagi.

Ifa mengambil ikat rambut yang sebenarnya jarang ia gunakan. Mengumpulkan semua helaian rambut indahnya menjadi satu dan mengikat rambutnya.

Setelah itu Ifa keluar dari kamar berniat ke dapur. Karena Gio belum sampai ke kamar mereka. Mungkin seperti yang ia pikirkan tadi jika suaminya itu belum makan malam.

***

Tubuh Gio seakan tidak bisa bergerak setelah mendengar lima kata yang baru saja dibisikkan di telinganya. Nafasnya tidak teratur. Perasaannya campur aduk sekarang.

"Kamu ngapain di sini?" tanyanya pada wanita itu.

Wanita itu tersenyum dan menatap aneh pada Gio.

"Nggak mau jawab pernyataan kangen aku dulu? Aku yakin kamu juga kangen aku Yo, setelah beberapa tahun enggak pernah ketemu," ucap wanita itu.

"Nggak ada yang perlu dijawab. Aku bukan siapa-siapa kamu sekarang," jawab Gio dengan wajah tenang.

"Oh ya? Terus kamu datang ke sini untuk apa kalau bukan aku? Aku yakin kamu tadi mau cari kamar aku kan?" tanya wanita itu dengan penuh percaya dirinya.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Gio lagi berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Ini rumah aku dan harusnya aku yang tanya kamu ngapain di sini," jawab wanita berambut sepunggung itu.

"Rumah kamu? Jangan bohong! Ini ...,"

"Kak Gio?" panggil Ifa yang membuat Gio tidak melanjutkan ucapannya.

Ifa tersenyum dan semakin menuruni tangga lalu mendekat pada Gio dan mengambil tangan kanan Gio untuk ia kecup seperti biasa.

"Ifa, ini maksudnya apa sih? Dia...,"

wanita yang berada tidak jauh dari mereka tadi pun angkat bicara karena bingung dengan adegan yang tersuguhkan di depan matanya.

"Eh Kak Rani, emm ini Kak Gio suami aku Kak. Kak Gio kenalin Kak Rani ini kakak aku, dia nggak bisa datang pas acara pernikahan kita karena sibuk kuliah," jelas Ifa dengan polosnya.

Kernyitan yang tadi sempat timbul di dahi wanita bernama Rani itu perlahan mengendur, berganti dengan wajah tegang yang saat ini ia munculkan.

"Jadi suami kamu bukan Om Alex?" tanya Rani dengan suara yang tertahan dan menatap heran pada Ifa juga Gio.

"Enggak Kak. Om Alex itu yang minta ke papa untuk menikahkan aku dan Kak Gio," jawab Ifa.

"O ... oh gitu? Ya udah aku mau ke kamar dulu," kata Rani dan pergi dari sana.

Sebelumnya ia sempat menatap Gio dengan tatapan yang terluka dan penuh amarah, meski Gio tidak berkata apa pun tapi Rani bisa tau jika pria itu sedang berpikir saat ini.

"Kak Gio udah ngobrol banyak ya sama Kak Rani?" tanya Ifa membuyarkan lamunan Gio.

"Eh, enggak Sayang. Tadi aku cuma papasan aja sama dia. Sebelum kamu datang," jawab Gio dengan tersenyum.

"Ya udah. Kakak udah makan? Atau mau makan dulu? Aku panasin ya," kata Ifa.

Gio menggeleng dan mengelus pipi Ifa dengan lembut. Dilengkapi tatapan cinta yang sekarang sudah sepenuhnya hanya untuk Ifa.

"Aku udah makan tadi sambil meeting Sayang. Sekarang kita ke kamar aja yuk, badan aku gerah banget ini pingin mandi," jawab Gio dengan lembut.

Ifa mengangguk dan membalas tatapan Gio dengan senyuman. Entah ke mana perginya rasa kantuk yang tadi hinggap di matanya. Melihat Gio saja sudah membuat kesegaran tubuhnya langsung membaik.

"Kalau gendong aku masih sanggup gak?" rajuk Ifa dengan tatapan manjanya.

Kedua tangannya sudah melingkar di leher Gio dan menatap penuh harap pada pria itu. Gio mana pernah menolak apa pun permintaan Ifa. Menggendong Ifa bukan hal yang sulit baginya.

"Uhh istriku sayang kangen ya digendong suaminya? Sini Sayang aku gendong," jawab Gio.

Menaiki satu persatu anak tangga dengan Ifa di gendongannya, tidak membuat Gio merasa susah sedikit pun. Semua yang berkaitan dengan cinta tidak akan susah, bukan?

"Huft, kok berat ya?" ujar Gio setelah meletakkan Ifa di kasur dengan begitu lembutnya.

"Ihh jahat banget sih, belum juga hamil. Katanya kalau perempuan hamil itu lebih berat loh Kak. Emang Kak Gio masih mau gendong aku kalau udah hamil nanti?" tanya Ifa tiba-tiba.

"Emangnya udah siap hamil?" kata Gio balik bertanya.

Pipi Ifa bersemu dan langsung memukul pelan dada Gio yang wajahnya sengaja dekat dengan Ifa.

"Loh kok malu? Aku tanya Sayang, udah siap hamil belum?" tanya Gio lagi. Kali ini dengan wajah serius.

"Udah," jawab Ifa mantap.

Gio langsung tersenyum sumringah dan memeluk Ifa erat.
Menyalurkan rasa bahagia karena Ifa ternyata tidak keberatan jika mereka segera memiliki anak.

"Berarti udah siap untuk itu dong?" kata Gio sengaja berbisik di telinga Ifa.

"Bisa nggak sih kalau hamil itu nggak perlu begituan? Langsung aja gitu Kak," ucap Ifa polos.

Gio langsung tergelak dengan tawa pelannya. Lalu ia tarik lagi tubuh Ifa hingga jatuh ke dalam pelukannya.

"Ya enggak bisa dong sayang. Udah ah aku mau mandi dulu. Nggak tahan aku liat muka kamu yang imut banget ini. Pingin aku kekepin terus," ucap Gio.

Ia mengecup kening Ifa dan berlalu masuk ke dalam kamar mandi. Ifa mengambil sepatu dan dasi yang tadi Gio letakkan di sembarang tempat. Meletakkan sepatu itu pada tempatnya dan menaruh kemeja serta dasi Gio pada keranjang kain kotor.

Kamu Milikku (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang