Chapter 41

14.8K 824 5
                                    

Ifa berjongkok di samping makam sang papa yang baru ditaburi bunga mawar berbagai warna oleh orang-orang yang mengantarkannya tadi ke sini. Ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Ditemani Bik Imah, Vita, dan Raya. Ifa mengelus nisan yang bertuliskan nama papanya. Ifa menangis lagi dan tersedu lagi.

"Maafin Ifa ya Pa. Ifa belum bisa jadi anak yang baik buat Papa. Semoga Papa diberi tempat yang baik di alam sana ya Pa," kata Ifa.

Tidak ingin meratapi kematian sang papa yang memang tidak dibolehkan dalam agama. Ifa sadar semua akan berpulang pada Tuhan, tinggal menunggu detik untuk sampai ke sana.

"Ifa berharap kalau Papa ketemu mama di sana. Tolong sampaikan salam cinta Ifa untuk mama ya Pa. Sekarang Ifa mereka a pulang dulu. Insya Allah Ifa akan selalu kirim do'a buat mama dan Papa, Ifa love both of you," ucap Ifa lagi.

***

Gio menjambak rambutnya kasar dan ia tampak seperti orang frustasi. Tadi ia melihat stasiun televisi yang menayangkan kabar meninggalnya Bima Pratama. Papa mertuanya yang sangat menyayangi Ifa.

Gio merasa bersalah, sangat merasa bersalah pada Ifa yang sekarang pasti sangat sedih. Melihat wajah sedih Ifa saat ia tinggalkan kemarin saja sudah membuatnya tidak sanggup, kini ditambah lagi dengan meninggalnya sang papa yang pasti semakin membuat Ifa tidak berdaya.

"Andai aku nggak pergi waktu itu. Aku pasti sekarang bisa temani kamu, maafin aku Sayang," gumam Gio lagi.

"Ifa kamu harus tau kalau cuma adaamu di hati ini. Maafin aku Fa," kata Gio.

Ya, kemarin ia kembali ke rumahnya bersama Vano dan Alex. Alex  tidak ada di sana dan itu yang membuat Gio sedikit bernafas lega. Alex pergi ke Jerman karena urusan pekerjaan yang tidak bisa ditunda, mungkin papanya akan lama di sana.

Sedangkan Vano, ia sibuk dengan kuliahnya dan tidak sempat bertemu dengan Gio apalagi mempertanyakan hal tentang Ifa.

Gio mendongakkan kepalanya yang tadi bertumpu pada meja kerja. Mendengar ponselnya berdering ia segera mengangkat telpon dari orang yang sangat penting menurutnya.

"Halo. Iya Bik, cepat kirim videonya," perintahnya.

Setelah itu ia mematikan ponselnya dan memulai video kiriman dari orang yang tadi panggil Bik. Menatap dengan serius pada layar benda pipih itu dan seketika tangannya mengepal karena emosi yang tidak bisa ia tahan.

"Keparat! Aku akan balas semua perbuatan kalian!" ucapnya dengan marah.

****

Seminggu setelah meninggalnya Bima, rumah Ifa tetap seperti biasa. Ifa menjalani hari-harinya seperti biasa di temani Bik Imah jika di dalam rumah, sementara di luar rumah Ifa akan terhibur dengan kehadiran sahabatnya yang selalu ada untuknya.

Seperti hari ini, Ifa tengah bersama Bik Imah duduk bersama di depan laptop dan menonton sesuatu yang membuat Bik Imah kumat tidak karuan.

Tengah fokus dengan drama yang mereka tonton, tiba-tiba pintu kamar Ifa dibuka dengan keras oleh Amira.

"Mama?" kaget Ifa sambil mengelus dada.

Amira tampak menatap pada Ifa dan Bik Imah secara bergantian. Lalu tersenyum jahat dan tampak miring.

"Sekarang kalian berkemas dan nanti jam tujuh malam saya nggak ingin melihat wajah kalian lagi di rumah ini!" perintah Amira dengan lantang.

Ifa menganga dan Bik Imah menatap heran pada dua majikannya itu.

"Maksud Mama apa?" tanya Ifa yang sedikit pun tidak mengerti.

"Ya maksud saya. Kalian saya usir dari sini!" kata Amira memperjelas ucapannya sekaligus menjawab tanda tanya yang Ifa berikan.

"Usir? Ma, ini rumah papa yang diwariskan untuk aku. Jadi, Mama nggak bisa usir aku dari sini," jelas Ifa.

"Oleh sebab itu, saya minta kamu tanda tangani surat pengalihan hak warisan ini dan setelah itu kamu pergi dari sini!" ucap Amira lagi.

Tangannya menyodorkan map kepada Ifa beserta sebuah pulpen. Ifa menatap datar pada alat tulis dan map yang disodorkan Amira padanya.

"Ma, maaf aku nggak bisa karena rumah ini hak aku dan milik aku. Lagian Mama apa nggak udah puas rebut semua dari aku? Mama rebut perhatian papa dari aku, Mama buat aku menderita selama beberapa tahun dan sekarang Mama mau rebut harta yang sudah menjadi milik aku? Tolong Ma jangan kaya gini," kata Ifa.

Amira maju satu langkah mendekati Ifa. Tangannya meraih rambut wanita cantik itu, menjambaknya dengan sesuka hati hingga Ifa memekik kesakitan.

"Kamu udah berani melawan ya sekarang, cepat tanda tangan surat itu!" kata Amira dan Ifa tetap menggeleng.

"Enggak Ma, aku nggak mau. Sampai kapan pun harta orang tuaku tetap menjadi milikku," jawab Ifa.

Amira melepaskan tangannya dari rambut Ifa dengan kasar. Menatap nyalang pada Ifa dengan penuh amarah. Nafasnya memburu dan mengambil lagi map yang tadi sempat terbengkalai di lantai.
Meninggalkan kamar Ifs dengan langkah cepat.

Ifa menghembuskan nafas saat Amira keluar dari kamarnya.
Bik Imah mendekati Ifa dan seketika mendapat pelukan dari wanita cantik yang pernah dicintai oleh majikannya itu.

"Sabar Non. Semua akan indah kita hanya menunggu waktu menjawab semuanya," kata Bik Imah mengelus punggung Ifa.

"Iya Bik. Aku akan tetap tunggu waktu itu," jawab Ifa dengan derai air mata.

"Non, tadi Den Gio ...," ucapan Bik Imah terhenti karena Ify menggeleng.

"Tolong jangan sebut namanya lagi ya Bik. Sekarang aku lagi usaha untuk bisa melupakan dia seperti dia yang udah lupain aku. Aku sedih karena ternyata sampai sekarang masih belum bisa lupain dia," kata Ifa.

Bik Imah mengangguk dan menatap miris pada Ifa. Tampak sangat menyedihkan.

"Andai saja Non Ifa tahu kalau sebenarnya orang yang paling Den Gio cintai itu adalah Non Ifa," ucap Bik Imah dalam hati.

"Bik, itu suara apa ya? Kayak suara sirinai polisi?" tanya Ifa yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Bik Imah.

Ifa mengusap air matanya dan mengajak Bik Imah untuk keluar.

Kamu Milikku (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang