Chapter 2

49.9K 2.5K 40
                                    


Seorang pemuda tengah sibuk memainkan jemarinya dengan lihai pada keyboard laptop yang ada di hadapannya. Saking fokusnya hingga tidak menyadari pintu ruang kerjanya dibuka oleh seorang yang berjenis sama dengannya hanya saja pria itu tampak lebih tua.

Pria paruh baya itu mendekati tempat di mana ia duduk dan langsung duduk di kursinya yang bersebelahan dengannya tepatnya terpisah oleh meja kerja pemuda itu.

"Gio," panggilnya dengan suara yang sarat akan ketenangan. Penuh wibawa namun tampak tegas meski tidak ada nada di sana.

Pria yang ia panggil Gio tadi menoleh dan menatap padanya dengan dahi bergelombang. Ia sebenarnya kaget karena tidak menyadari kehadiran pria itu di sini, namun tidak suit bagi Gio untuk menguasai keterkejutannya.

"Ada apa Pa," jawab Gio tidak kalah tenang dari sang papa.

Like father like son, satu tenang keduanya akan tenang.

"Terus menjalani hari-hari dengan ditemani laptop dan berkas serta kertas-kertas itu apa tidak membuatmu jenuh?" tanya Alex.

Gio menaikkan sebelah alisnya dan menghentikan pergerakan jemarinya yang tadi dengan lihai menari di atas keyboard. Menekan tombol kecil di samping keyboard lantas menutup benda canggih itu dan menggesernya sedikit ke samping kanan.

Semua yang Gio lakukan tidak ada ayal dari perhatian Alex. Dirinya tersenyum tipis saat kini anaknya sudah membalas tatapannya dengan kedua tangan yang menyatu di atas meja.

"Bahkan baru sekarang aku mendengar kata jenuh," jawab Gio dengan raut wajah yang tetap datar.

"Maksud Papa, apa kamu tidak ada niatan mencari sesuatu untuk menghibur diri dari semua pekerjaan yang pasti membuat lelah ini?" ujar Alex lagi.

Alex semakin menarik ujung bibirnya untuk tersenyum saat melihat Gio semakin mengerutkan dahi dengan alis mata yang hampir menyatu. Ia yakin dan sangat yakin jika putranya ini bukanlah orang yang  susah dalam mencerna kata-kata.

"Seperti seorang wanita," gumam Alex memperjelas maksudnya.

Gio menunjukan ekspresi yang kembali datar, kerutan di area dahi dan alis yang menyatu pun sudah tidak ada. Gio ikut tersenyum kecil pada sang papa. Pandangannya kini lurus ke depan, seolah menerawang lewat dinding tembok ruang kerjanya.

"Gio belum bisa buka hati untuk gadis mana pun, Pa untuk saat ini," jawab Gio  masih dengan tatapan lurus pada tembok di belakang Alex.

Alex mengangguk mengerti dan sangat mengerti maksud dari putranya.

"Kalau begitu biarkan Papa untuk mengenalkan satu gadis untuk Papa jadikan teman," seru Alex.

"Gio enggak pernah larang untuk Papa dekat dengan wanita mana pun. Apalagi setelah kepergian Mama, Gio tau Papa butuh wanita yang akan menemani hari-hari Papa, dan pasti wanita itu cantik kan Pa? Jangan kalah sama mama pokoknya," ucap Gio.

Alex tersenyum dan mengangguk. Ia bangun dari duduknya dan mengitari meja hingga sampai di dekat kursi yang Gio duduki. Mengusap bahu putra kesayangannya itu pelan. Lalu beralih pada mengusap pelan pucuk kepala Gio dengan sayang.

"Ya dia cantik dan kalau kamu lihat dia lebih cantik dari mama kamu, and this night we will dinner," ujar Alex dengan senyum yang terus saja mengembangkan.

Gio ikut menarik ujung bibirnya melihat senyum yang terpatri di wajah Alex dan aura bahagia sang ayah yang sangat tidak bisa untuk di simpan.

Mengizinkan Alex kembali mendekati wanita lain setelah kepergian sang mama bukan berarti Gio dan Alex melupakan mamanya begitu saja. Hanya saja Gio juga ingin ada yang menemani Alex di masa tua nanti, tidak tega melihat Alex yang selalu sendiri dalam segala hal.

"Semoga lancar Pa dan setelah itu jangan lupa kenalkan dengan Gio," kata Gio dan mendapat anggukan dari sang Papa.

"Tentu dan gadis itu akan Papa jadikan menantu nanti."

***

"Udah siap kamu?"

seruan dari sebuah suara membuat Ifa yang tengah melamun sedikit terlonjak kaget.

Buru-buru tangannya menyeka air mata yang sudah jatuh pada pipi mulusnya. Mengulas sedikit senyum pada pemilik suara yang masih berdiri di ambang pintu dengan melipat kedua tangan di dada.

"Udah, Ma."

Kembali menunduk dan menghela nafas beberapa kali.

Ifa lantas mendongak sedikit menatap sang ibu tiri penuh luka tapi Amira mana peduli soal itu. Ia mungkin tau arti tatapan Ifa yang sendu padanya tapi ia mencoba egois pada hatinya.

"Ma, sebelum Ifa pergi sama Om Alex, Ifa boleh tanya sesuatu sama Mama?" tanya Ifa dengan hati-hati.

Melihat dan mendengar sesuatu yang terkesan serius membuat Amira melangkah dan mendekat pada tempat tidur yang kini Ifa tengah duduk di ujungnya. Amira memilih menyeret pelan kursi rias Ifa dan duduk di sana.

"Tanya apa? Udah cepetan mumpung Alex belum datang!" ketus Amira dengan nada menuntut.

"Kenapa harus Ifa yang Mama jodohkan dengan Om Alex, Ma?"

tanya Ifa membuka suara. Sedikit bergetar karena takut akan respon dari Amira.

"Kalau bukan kamu siapa? Rani? Ingat Fa, Rani itu anak Mama satu-satunya dan enggak mungkin Mama rela jodohin dia sama lelaki yang sudah berumur seperti papa kamu demi mempertahankan perusahaan. Nggak akan pernah Mama lakukan itu pada anak Mama!" ucap Amira tegas dan penuh tekanan.

Ifa sampai memejamkan matanya mendengar ucapan Amira yang berhasil masuk menusuk sampai ke relung hatinya yang paling dalam. Dadanya terasa teramat sesak atas penuturan Amira barusan.

Ternyata ini namanya kasih sayang ibu tiri yang hanya ada dan terlihat di depan ayahnya saja. Ifa melakukan semua ini atas perintah dan permintaan ayahnya tapi bolehkan Ifa sedikit suudzon jika Amira yang telah menghasut ayahnya.

"Kalau begitu kenapa harus Om Alex? Kenapa Mama nggak cari pria lain yang mungkin usianya lebih muda dan lebih pantas bersanding dengan usia Ifa, Ma? Banyak orang yang masih muda dan juga kaya kan? Kenapa enggak salah satu dari mereka aja?" tanya Ifa lagi.

"Kenapa? Kamu mau nolak? Mama jodohkan kamu dengan Alex itu karena dia yang minta dan alasan lain adalah karena ia udah tua dan pasti sangat senang jika diberi gadis yang masih fresh seperti kamu. Pasti apa pun yang kamu minta akan dia beri, udah kamu jangan banyak protes sekarang siap-siap dan hapus itu air mata!" ujar Amira.

Setelah mengatakan itu, Amira keluar dari kamar Ifa dengan senyum sinis yang penuh arti di bibirnya.

Sedangkan Ifa menatap punggung Amira penuh dengan rasa sakit di dadanya. Ifa tidak tau harus apa sekarang, deritanya kembali sudah di depan mata. Harusnya kini Ifa sedang merasa bahagia dengan teman-temannya setelah lulus sekolah dan mungkin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi seperti Rani, kakak tirinya.

Apakah Ifa akan bisa bahagia setelah menikah dengan orang yang seumuran ayahnya itu nanti? Mengingat itu Ifa kembali merasa sesak lagi di dadanya.

Kamu Milikku (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang