1. Meteor

22 6 6
                                    

Seventeen years, later...

Terik matahari yang menyurut di penghujung hari, meredup digantikan semburat jingga di ufuk barat. Sebuah Galiung—kapal berlayar besar dengan geladak bertingkat-tingkat—mengarungi lautan sore, mengikuti arus angin yang berhembus kencang. Seorang pemuda memejamkan matanya damai dalam posisi berbaringnya menggantung pada buaian, yaitu Hammock yang terkait pada dua tiang layar; sebelah tangannya menutupi kedua mata, menghalau silau matahari.

“Ouh, lihat semeriah apa pesta yang disiapkan untuk menyambut kepulanganmu,” seru seorang pemuda bersurai kemerahan, bertengger dari atas tiang layar tertinggi dengan teropong di sebelah tangannya—menerawang pesisir yang mulai terlihat dari kejauhan, sementara si tokoh utama alih-alih bersiap-siap malah terbaring santai seolah tak punya beban.

“Tch, berisik.” Decaknya, merentangkan kedua tangan—meregangkan otot-otot yang kaku sesekali menguap.

“Pastikan tidak ada bekas air liur di sudut bibirmu atau citra sebagai seorang pangeran tampan tersohor yang kau sandang akan tercoreng,” pemuda tadi meledek, tersungging cengiran tengil begitu dipelototi. Dia Jorzilo Harrington, putra dari adipati kerajaan yang bersahabat baik dengan Eirene Chrysler, putra mahkota Kerajaan Chryseis.

Eksistensi Jorz tak begitu diidahkan oleh sang pangeran yang mendengus, lantas menengadahkan tatapannya; memandangi kawanan burung camar beterbangan menuju ke wilayah pesisir, persis seperti tempatnya berlabuh.
Ia merenung, menikmati sejuk angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya seiring gema debur arus ombak yang bergelombang. Terhitung tiga tahun lamanya dari sejak keberangkatannya mengarungi samudera untuk membantu negeri seberang berperang, lalu melanjutkan ekspedisi dari usianya yang kelima belas tahun.

“Sebagian layar telah diturunkan untuk mengurangi laju kapal agar dapat mendarat dengan sempurna di pelabuhan, yang mulia. Jangkar juga telah siap dilontarkan,” lapor kepala nakhoda yang menunggu instruksi sang kapten.

Pemuda itu mengangguk, lantas bangkit dari posisi duduknya, berselang melangkahkan kakinya—naik ke geladak depan untuk menerawang jarak tempat tujuan yang semakin dekat, bahkan keramaian menyerupai festival yang digelar di pesisir—mampu terlihat dari kejauhan. Ia menyisir asal rambutnya dengan jari, sesekali merapikan topi kapten yang ia kenakan.

Para awak sibuk dengan tugas masing-masing, bersiap mendaratkan Galiung ketika kapal sampai tepat di area pelabuhan. Disoraki riuh rakyat yang menggemakan pujian pada pangeran kesayangan mereka, menghujani kelompok pemuda itu dengan kelopak bunga yang dihamburkan ke udara.

Seorang gadis dengan gaun selutut berwarna merah senada dengan rambutnya, mengulas senyum kala mengalungkan bunga pada pangeran yang sedikit membungkukkan badan. Namanya, Jovzilla Harrington; adik dari Jorzilo yang terpaut selisih usia dua tahun lebih muda. “Selamat datang kembali, yang mulia!”

Sang pangeran mengangguk pelan, berselang menghampiri sesosok wanita cantik dengan tiara yang melingkari kepalanya, khas beraura wibawa dengan jubah kebesaran yang ia kenakan; merentangkan kedua tangannya lebar menyambut pelukan putra semata wayangnya. “Lama tidak bertemu, apa kabar ibu sehat?”

“Yah, seperti yang kau lihat.” Enteng sang ratu, ia sedikit berjinjit agar tangannya sampai membelai puncak kepala pemuda itu. “Waktu berputar begitu cepat, kau pergi terlalu jauh hingga ketika kembali sudah menjadi setinggi tiang. Bagaimana perjalananmu kemari, Eirene? Semuanya berjalan lancar?”

“Sedikit melelahkan,” kekehnya.

“Senang atas kembalinya Anda, yang mulia!” sahut Jorge Harrington, adipati kerajaan yang senantiasa mendampingi sang ratu.

Heir Of FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang