Deru pawana yang menghangat berdesir menyapu kulit, seiring semburat jingga kian mewarnai dirgantara ufuk barat. Getaran gerigi rel sepanjang perjalanan masihlah terasa selama kereta yang mereka tumpangi terus melaju. Sesosok gadis yang terlelap pulas itu mulai mengerjapkan tatapannya yang memburam, selagi mengumpulkan nyawa. Akan tetapi, pandangannya terhalang oleh jari jemari telapak tangan seorang pemuda yang menutupi area mata dan sebagian wajahnya, menghalau silau pendar matahari dari ufuk barat.
Dalam kondisi masih ling-lung, Darka bergeming membayangkan bagaimana kiranya posisinya sekarang. Sungguh, dirinya merasa—seperti sedang bersandar pada bantalan empuk yang hangat; itulah mengapa tidurnya senyaman itu. Sayangnya ia kesulitan untuk berkutik lantaran ada sesuatu yang juga bersandar pada puncak kepalanya.
"Kau sudah bangun ya?" tanya suara berat seseorang, merasakan adanya pergerakan dari gadis yang sejak beberapa waktu lalu tidur begitu tenang hingga nyaris tidak bergerak.
Kedua mata sang master sontak membulat begitu kesadarannya telah kembali penuh, Darka sedikit tercengang menyadari sedekat apa posisinya dengan orang lain sekarang. Diturunkannya pelan telapak tangan yang menutupi matanya itu hingga lengan yang merangkul bahunya turut jatuh ketika ia membenarkan posisi duduk tegaknya.
"Akh," Eirene sedikit oleng kehilangan keseimbangan begitu sandarannya menjauh tanpa aba-aba. "Kau ini terbiasa ke mana-mana pergi sendiri kah, sampai lupa kalau sekarang sedang bersamaku?" keluhnya menyandarkan punggung, seraya menopang pipi dengan kepalan tangan tatkala memejamkan mata lagi.
Darka baru mencerna situasi, jadi kepalanya bersandar pada pundak Eirene ketika tidak sengaja tertidur, lalu pemuda itu menyandarkan leher di puncak kepalanya dan ikut terpejam, begitu?
"Tidurmu terusik karenaku?" lirik Darka melalui ekor matanya.
Yang ditanya menggeleng, "aku hanya memejamkan mata saja, silau. Harus ada salah satu dari kita yang terjaga kan?"
"Berapa lama aku—tertidur?"
"Lumayan, kira-kira sekitar dua jam lebih lima belas menit, mungkin."
"Selama itu?!"
"Memangnya mengapa? Tidur kan kebutuhan, kau pasti terlalu lelah; jadi wajar saja pulas sekali. Manusiawi, Darka Leozean." Tatap Eirene.
"Maaf," lirihnya.
"Maaf?" ulang Eirene membeo.
".. Atas—ketidaksopananku selama tidak sengaja tertidur dan..."
Eirene mengangguk mengerti tanpa dijelaskan; paham ke mana arah dialog Darka yang menggantung. "Bukan salahmu, itu ulahku." Jawabnya.
"Tadi ketika kau terlelap, kepalamu terbentur-bentur pelan ke tumpukan jerami di sampingmu karena getaran kereta. Jadi aku merangkul bahumu tanpa izin dan mengarahkan kepalamu agar tidur bersandar di pundakku, begitu pula aku agak lancang menyandarkan leherku di kepalamu. Berhubung sudah semakin sore dan mulai memasuki waktu matahari terbenam, kuarahkan tanganku menghalangi pandangan matamu agar tidurmu tetap nyaman tanpa terusik pancaran cahaya dari barat yang menyilaukan." Aku jujur sang pangeran, meluruskan fakta agar tidak timbul kesalahpahaman di antara keduanya. "Sebelumnya maaf atas ketidaknyamananmu karenaku, master. Sungguh hanya itu, tidak terjadi apa-apa, tenang saja. Jangan berpikir terlalu jauh atau berprasangka buruk padaku,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Heir Of Fire
FantasySaat keterpaksaan dinobatkan sebagai putra mahkota karena menjadi satu-satunya keturunan terakhir yang masih hidup selepas perang---Eirene muak atas takdirnya, dia jadi tidak bisa hidup bebas, malah harus menggantikan kewajiban besar yang diemban me...