15. Prasangka Pereka Malapetaka

12 5 6
                                    

“Ibu, hari ini—aku mau pakai baju baru!” seru seorang bocah lelaki yang duduk anteng setelah dimandikan oleh pengasuhnya, lalu sekarang sedang dihanduki oleh sang ibunda karena rambutnya yang basah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ibu, hari ini—aku mau pakai baju baru!” seru seorang bocah lelaki yang duduk anteng setelah dimandikan oleh pengasuhnya, lalu sekarang sedang dihanduki oleh sang ibunda karena rambutnya yang basah.

“Tumben sekali,” herannya.

Sang anak mengerucutkan bibir, “ibu tidak lupa kan? Hari ini sahabatku datang berkunjung, jadi aku harus tampil rapi.”

“Memangnya biasanya berantakan?”

“Ah, tidak pernah. Tapi kan—hari ini spesial.”

“Boleh, pilih saja mana yang ingin kau pakai.” Bagaimana mungkin seorang ibu tak tersenyum geli melihat putranya kegirangan hanya karena hal-hal sederhana. Padahal hampir seminggu dia murung karena suntuk diajari adab tata krama oleh guru yang mereka datangkan dari Welvder.

“Eirene putra ibu, sudah tampan.” Pujinya, setelah beberapa menit membantu anak itu bersiap-siap.

“Begitu ya, Eirene saja yang tampan?” cibir seorang pemuda di ambang kamar Eirene dengan kedua lengan yang disilangkan.

“Wah lihat dia, putra mahkota kita cemburu.” Eliza terkekeh, menjahili Elaine.

“Kakak ada apa kemari? Dey—sudah datang kah?” Eirene berbinar, berpikir kakaknya itu akan menyampaikan kabar baik terhadap kedatangan seseorang yang sudah dari sejak semalam dia nanti-nantikan.

“Itu yang hendak kuberitahukan,” nadanya terdengar rendah, Elaine menghampiri sang adik. Lalu—memberikan anak itu sepucuk surat yang masih terbungkus amplop. Tapi segelnya sudah terbuka dan dibaca oleh Elaine sebelumnya.

“Apa ini? Aku mau Dey, kenapa—kakak malah memberiku surat?” ia terheran, tanpa sedikit pun tertarik membaca isi surat yang tertera.

“Dey—tidak akan datang,”

Kedua bahu Eirene menurun seketika, senyumnya sirna. Kedua matanya berkaca saking kecewanya. “K-kenapa? Dey tidak mau menemuiku? Apa dia marah padaku? Apa aku melakukan kesalahan padanya?” Tanya Eirene beruntun. “Padahal, kami kan—sudah lama tidak bertemu..”

“Dey, sakit. Dia—demam, Ren.” ujar Elaine memberitahu.

“Benarkah? Sayang sekali,” lirih Eliza kasihan. “Yah, mau bagaimana lagi. Dey, harus beristirahat. Eirene mau mengerti kan?” tanyanya pelan-pelan.

Alih-alih mengangguk menerima, anak itu malah memohon izin pada Eliza dengan menggenggam kedua tangan sang ibunda. “Kalau begitu, izinkan aku menjenguknya ya? Tolong antar aku ke rumah Dey! Memang kenapa kalau dia tidak bisa ke sini? Aku yang akan mengunjunginya, mana mungkin aku diam saja kalau sahabatku sakit. Boleh yah? Yah? Yah?”

Eliza tidak kunjung memberi jawaban, Eirene pun menoleh ke belakang—memandangi sang kakak dengan tatapan memohon.

“Aku yang akan mengantarnya jika ibu, mengizinkan. Kami akan berkuda, dan berjanji akan pulang ketika senja.” Bujuk Elaine, membantu sang adik.

Heir Of FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang