7. Determination

14 7 6
                                    

Esok paginya, Eirene yang tidak tidur sama sekali, terus terjaga—menyibukkan diri di kala kedua matanya tak dihampiri rasa kantuk sedikit pun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Esok paginya, Eirene yang tidak tidur sama sekali, terus terjaga—menyibukkan diri di kala kedua matanya tak dihampiri rasa kantuk sedikit pun. Ia merapikan barang-barangnya sembari meneliti kembali kopernya agar jangan sampai meninggalkan sesuatu di kamar yang ia tempati. Searle bilang ia telah mendapatkan kamar asrama di Fire Signs, sehingga tentunya harus segera pindah agar dapat beradaptasi di lingkungan baru dan mengakrabkan diri bersama orang-orang baru pula.

Semalam, pesta api unggun selesai pukul dua belas tepat; setelah itu para murid dari masing-masing Signs secara tertib kembali ke asrama mereka untuk beristirahat agar tidak bangun kesiangan atau mendapat hukuman nantinya. Berbeda dengan para senior dan master yang baru bubar pukul dua dini hari setelah api unggun padam, Eirene dan Jorz turut serta menjadi bagian dari mereka; mendengarkan para Elf bernyanyi atau sesekali membahas progres beberapa murid, merencanakan latihan dan materi baru, serta bermain kuis tantangan atau tebak-tebakan, bahkan dirinya dan Jorz turut mendapat bagian dengan diminta menceritakan pengalaman kedunya selama ekspedisi laut. Hanya Darka yang tidak ada, gadis itu tidak terlihat menampakkan batang hidung setelah meninggalkan makan malam dan undur diri lebih dulu.

Tidak satu pun tanda tanya dalam benak Eirene terjawab, masih tentang Darka; yang jika memang dia menguasai kuasa elemental api dan memegang kendali tanggung jawab atas Fire Signs, lantas mengapa lencana masternya justru berwarna biru? Lalu siapa pula master pemilik lencana merah yang kini berada di genggaman tangannya?

Eirene menelisik lekat-lekat gold badge red onyx stone di telapak tangannya, sembari terhanyut dalam renungan setumpuk pertanyaan tanpa jawaban. Di tengah keheningan paviliun, samar-samar terdengar suara koakan burung diikuti derap langkah seseorang yang menuruni tangga. Pemuda itu sontak mengantungi kembali lencana emasnya agar tidak hilang. Terbesit heran, siapa pula yang sudah bangun di waktu subuh sepagi ini? Jangankan sang baskara yang memunculkan diri di ufuk timur, bahkan langit masih gelap di atas sana.

Tergerak oleh rasa penasaran yang memuncak, sang pangeran memberanikan diri keluar kamar seraya berusaha tanpa menimbulkan suara. Berjalan mengendap-endap sesekali mengedarkan pandangan berwaspada, ia mendapati seorang gadis dengan dihinggapi seekor burung hantu putih di bahunya tengah berjalan keluar paviliun.

“Mau pergi ke mana—dia? Masa iya ada misi dadakan yang mengharuskannya berangkat pagi-pagi buta seorang diri pula,” gumamnya memandangi punggung Darka yang mengenakan tas ransel.

Tidak-tidak Darka tidak sendirian, ketika langkahnya telah jauh keluar dari barier perisai akademi dan memasuki kawasan hutan di luar perbatasan, burung hantu putih yang tadinya terbang mengirinya sontak bertransformasi menjadi seorang bocah laki-laki berusia sepuluh tahun, berjalan membuntuti sang master bak seorang anak yang mengekori induknya.
“Pangeran itu melihat kita pergi, tadi.” Adunya. “Kau—tidak merasa dia orang yang mencurigakan, nona? Aku sedikit tidak senang dari sejak dia datang, kemarin.”

Heir Of FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang