"Win.. Buka pintunya. Mama uda berangkat kok.".
Winda membuka kunci kamarnya dan membiarkan Juno masuk. Hati Juno teriris melihat wajah pucat dan mata sembab adiknya karena terus mengurung diri dalam kamarnya sejak pulang dari villa kemarin. Juno langsung menyuapkan Winda makanan yang ia buat.
"Ini bukan masakan Mama. Aku yang bikin. Kamu makan ya? Aaa.."
Winda hanya melirik telur dadar gosong buatan Juno yang tengah Juno suapkan. Ia terharu dengan usaha Juno. Juno sangat payah dalam memasak, namun Juno begitu peka dengan dirinya yang tak ingin terhubung lagi dengan cara apapun dengan Mamanya, termasuk lewat masakan atau bahkan sekadar melihat wajah Mamanya. Winda duduk diam memeluk lututnya di atas kasur, menahan perih di perutnya karena tidak makan apapun sejak kemarin.
"Mau kemana?", tanya Winda saat Juno hendak keluar kamarnya.
"Telur dadar gosong begini kayaknya ga enak. Aku mau beli roti dulu."
"Jangan.. Sini aku makan..". Juno tersenyum dan kembali duduk, menyuapkan Winda telur buatannya kembali.
"Kamu kok gak sekolah?", tanya Winda sambil mengunyah dengan lemah.
"Aku gamau ninggalin kamu."
"Kenapa?"
"Biar kamu tau, disaat kamu pikir semua hal ninggalin kamu, kamu punya aku di sini."
Air mata Winda jatuh. Juno menyekanya.
"Iya aku tau telur dadarku gaenak, tapi makannya gausah sampe nangis gitu.", banyol Juno. Winda terisak.
"Juno.. Maaf.. Maafin aku, Jun..". Winda terus terisak dan berulangkali meminta maaf, mengabaikan Juno yang terus berusaha menyuapinya.
"Aku maafin kalo kamu mau makan. Ayo mangap, syuuuu..", Juno menyuapi Winda seperti anak kecil, dengan membuat suapannya seolah-olah pesawat. Winda menghabiskan masakan Juno sambil menangis. Juno meminumkan air dan vitamin pada Winda, memeluk Winda dan membiarkannya menangis. Setelah Winda tenang, barulah ia mulai berbicara serius.
"Aku udah mikirin langkah mana yang mau aku ambil. Mungkin keputusan kita bakal beda, tapi biarlah semuanya tetep Mama yang bakal mutusin."
"Kamu setuju?", tanya Winda dengan tatapan kosong.
"Iya. Tolong dengerin aku dulu ya?". Winda menatap dengan tatapan yang sama.
"Perhatian Mama akhir-akhir ini sebenarnya apa yang aku impikan dari dulu. Aku yakin itu impianmu juga. Awalnya aku setuju sama kamu, nganggep semua itu sebenernya cuma cara Mama nyogok kita supaya mau merestui pernikahannya. Sejak pulang kemarin, aku terus nyari celah yang bisa memperkuat anggepanku kalo Mama bener-bener melakukan itu karena mau nyogok kita. Dan ternyata.. Aku ga nemuin celah itu. Aku ga nemuin ketidaktulusan dari senyum Mama, sorot mata Mama, cara bicara Mama, dan perlakuan Mama ke kita.."
Pandangan Juno menerawang.
"Mama gapernah lupa apa yang anak-anaknya suka. Boba yang kamu minum pas kita nonton penampilan pensi kamu, gak terlalu dingin dan gak terlalu manis, itu Mama yang mesen. Burger yang aku makan saat itu, juga burger ayam, karena Mama tau kalo aku gak suka daging. Mama tau detail apa yang kita suka, tanpa perlu kita jelasin."
"Itu udah kewajiban Mama..", Winda berdecih. Juno mengangguk dan tetap lanjut menjelaskan.
"Mama tau kita gamau liat dia lagi. Mama tau kita ga sudi nerima apapun yang dia kasih lagi. Tapi Mama tetep masak buat kita, meski dia tau masakannya akan basi karena gak kita sentuh. Mama tau juga kalo kita gamau bicara sama dia, tapi Mama terus berusaha bicara sama kita dan gak berhenti ngingetin kita buat makan. Mama bener-bener peduli, Win.. Mama gamau ninggalin kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Why Noir?
Ficción General"Untukmu, malaikat pelindung yang tak pernah berhenti mencintaiku meski hatinya tercabik oleh takdir dan terhantam oleh dunia yang kejam." - Arwinda Kusuma [Start : 7 November 2021] Beberapa bagian di edit untuk memperjelas alur cerita dan untuk mem...