Chapter 24 - What Should I Say Here?

17 3 5
                                    

Winda memakan nasi kuning dan lauk yang tadi siang Juno berikan padanya. Tidak, ia tidak membuang pemberian Juno lagi, karena ini tentang papanya.

***
"Mama masak ini, buat selametan, memperingati hari meninggalnya Papa. Kamu makan juga ya..", Juno berucap. Juno mendatangi kelas Winda di jam istirahat.

Winda yang tengah duduk di bangkunya tidak menoleh ke arah Juno, melainkan langsung menatap makanan di kotak bekal transparan yang Juno letakkan di mejanya. Ah iya, bulan November, tepatnya hari ini, adalah hari peringatan kematian papanya. Tahun-tahun sebelumnya, memang mamanya rutin memasak makanan kesukaan sang papa di hari peringatan kematiannya, yaitu nasi kuning lengkap dengan sayur urap, tahu, tempe, telur dan ayam goreng. Winda dan keluarganya biasa memakan ini dari sarapan hingga makan malam di hari peringatan tersebut setiap tahunnya. Tahun lalu, ketika mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing pun, mamanya berusaha menyempatkan diri memasak semua itu. Winda dan Juno yang sibuk dengan masa awal SMA serta ekskul nya, dan sang mama yang terus sibuk dengan pekerjaannya. Mereka bertiga tetap memperingati hari itu di tahun lalu. Dan bisa-bisanya, kini Winda lupa tentang hari kematian sang Papa.

"Dimakan ya? Mama sengaja bawain 2 porsi, biar kamu makan malemnya ga masak atau beli.". Ucapan Juno menghentikan kilas balik yang terputar di otak Winda.

"Makasih..", ucap Winda singkat. Juno tersenyum hangat dan kembali ke kelasnya.

***

Winda membuka ponselnya, melihat kontak bernamakan 'Mama' dan 'Twin'. Ia teringat dengan tulisan di secarik kertas yang Juno berikan bersamaan dengan ponsel dan tabnya.

'Hubungi Mama kalau Mama boleh ketemu adek.'

Ia termenung penuh keraguan antara menelepon mamanya atau tidak. Ia ingin menelepon untuk sekadar mengatakan terima kasih dan menyapa mamanya, tapi akhirnya ia memutuskan untuk tidak melakukannya. Sejujurnya, dari hati yang terdalam, Winda perlahan mulai menerima fakta bahwa amarahnya telah dan kian memudar. Tentang mamanya, Juno, bahkan Mark. Ia ikhlas, dengan segala yang terjadi. Ia menerima, tentang pernikahan mamanya yang membuatnya tidak bisa terus bersama Mark. Ia menerima, tentang Mark yang ternyata mengkhianatinya. Ia juga menerima, bahwa Juno, saudaranya, juga mengkhianatinya. Mungkin semua ini terjadi untuk membuka hati dan pikiran Winda.

Mungkin, pernikahan mamanya adalah jalan yang Tuhan berikan untuknya, agar ia bisa melihat bahwa Mark bukan yang terbaik untuknya. Mungkin, pernikahan mamanya juga merupakan jalan, untuk dirinya tahu lebih dalam tentang Juno, karena selama ini sang kakak tak seterbuka itu pada dirinya. Dan mungkin, pernikahan mamanya juga pelepas beban berat yang selama ini mamanya pikul sendirian demi dirinya dan Juno, serta untuk membuat mamanya merasa dicintai dan memiliki tempat pulang kala lelahnya. Om Niko, dia orang yang benar-benar baik, tak seperti yang sempat Winda kira. Pernikahan ini, adalah pernikahan yang begitu dirahmati Tuhan, berlangsung di waktu yang tepat, pencegah rasa sakit yang bisa saja kelak lebih mengikat.

Rasa nasi kuning dan lauk pauk ini membuatnya merasa pulang. Ia ingin pulang, ingin merasakan segalanya kembali seperti sedia kala. Winda sengaja tidak masuk kerja saat ini karena sejak tadi ia begitu tertekan dengan perasaan dan ego yang berperang dalam benaknya.

Ia menggeser tampilan ponselnya ke galeri, melihat foto lengkap keluarganya yang sempat ia salin ke ponsel kala Juno mencetak foto di tempat kerjanya. Winda menguyah makanannya dengan berderai air mata.

***
"Sshhtt! Papa udah dateng! Ayo matikan lampunya!". Lampu senter redup yang tadinya menyala pun dimatikan.

"Selamat ulang tahun Papa!", sorak seorang wanita dan kedua anaknya ketika sang suami masuk dan menyalakan lampu rumah setelah memanggil mereka.

[COMPLETED] Why Noir? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang