Chapter 22 - Food as Witness

24 3 5
                                    

Juno melamun memandangi kotak bekal yang ia pangku. Ini dari mamanya, untuk Winda. Sejak mamanya tahu bahwa Winda kembali dengan selamat, mamanya jadi terus bertanya-tanya tentang Winda. Tentang dimana dan bagaimana Winda tinggal, apakah Winda makan dengan baik, bagaimana Winda bisa mendapat uang, apapun itu terkait keperluan dasar Winda. Bahkan mamanya sempat memaksa Juno untuk mengantarkannya ke kosan Winda. Tentu, ibu mana yang tak ingin bertemu anaknya yang telah hilang sekian lama. Namun untung saja Windi berhasil dibujuk oleh Juno dan Niko untuk jangan tiba-tiba mendatangi Winda, mengingat bagaimana reaksi Winda kala Juno memeluknya di hari pertama kembalinya. Winda tampaknya mulai bekerja di tempat fotocopy dan penjilidan kecil dekat kosnya. Lagi-lagi, Juno tahu hal ini karena ia menguntit adiknya itu.

Ini adalah minggu kedua Winda kembali ke sekolah. Mamanya berinisiatif menitipkan bekal makan siang untuk Winda, setelah tahu dari Juno bahwa Winda hanya makan siang dengan roti kecil di perpustakaan sekolah. Ya, itu bagus, tapi apakah Winda mau menerimanya?

* * *

"Winda!", panggil Juno kala melihat Winda berjalan sendirian saat istirahat makan siang. Winda menoleh.

"Buat kamu..", ucap Juno sambil menyerahkan kotak bekal titipan mamanya.

Winda melirik kotak itu dan mata Juno secara bergantian selama beberapa saat. Juno tersenyum senang saat Winda menerimanya. Tak ia sangka bahwa Winda mau menerima kotak bekal itu. Ia pikir, Winda pasti menolaknya karena tak ingin terhubung dengan dirinya dan mamanya lagi. Yah, mengingat dahulu Winda yang menolak makan masakan mamanya kala sang mama meminta izin untuk menikah lagi. Ini sebuah kemajuan.

Winda berlalu setelah berterimakasih. Lauk makanan di bekal itu adalah kesukaan Winda. Nasi, ayam bacem lengkap dengan sambal dan lalapannya, juga telur gulung sosis. Semua masakan mamanya itu sanggup membuat Winda makan 2 porsi sekaligus, Juno dan mamanya tentu sangat mengingatnya. Dalam bayangan Juno, pasti Winda makan dengan lahap dan menyukainya. Ia dengan begitu ceria kembali membuntuti adiknya itu dari jauh, ingin melihat bagaimana lahapnya Winda makan makanan kesukaannya setelah sekian lama.

Kebahagiaan Juno hancur seketika, ketika ia melihat Winda berhenti di toilet dan membuang makanan bekal tadi di tempat sampah dekat toilet.

"Adek..", lirih Juno.

* * *

Pukul 4 sore, tepat saat Windi dan Niko pulang bekerja.

"Juno, gimana si adek? Dimakan ngga bekalnya?". Pertanyaan pertama yang Windi ucapkan.

"Iya Ma..", bohong Juno sambil menatap lembut mamanya yang baru saja pulang bekerja. Seketika senyuman bahagia menghiasi wajah lelah mamanya.

"Kata adek gimana? Enak nggak?"

"Kakak cuma ngeliatin dari jauh, Ma. Takut adek gamau ngobrol dan gamau makan karena ngeliat kakak."

"Yaudah, pokoknya adek makannya bener.. Kalo gitu, besok dan seterusnya, mama nitip bekal buat adek lagi ya.."

"Iya Ma..", jawab Juno ragu. Windi terlihat mengangguk senang.

"Winda itu, shift malem terus ya kerjanya?"

"Iya Om, kan kalo pagi sama siang sekolah. Sore istirahat."

Mereka bertiga saling diam sesaat. Akhirnya Juno masuk ke kamarnya meninggalkan sang mama yang kemudian mengobrol dengan Om Niko tentang Winda dan kotak bekalnya.

Juno memutar otak, berpikir keras bagaimana caranya agar makanan itu dimakan oleh Winda. Membujuk? Tak mungkin. Memaksa? Semakin tak mungkin.

Pintu kamar Juno tiba-tiba diketuk. Mamanya masuk setelah ia bukakan pintu.

[COMPLETED] Why Noir? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang