End : Chapter 26 - Why Noir?

28 3 2
                                    

Sudah lama Winda berdiri di depan ruang rawat mamanya. Dokter sudah mengizinkannya untuk masuk menjenguk sang Mama, namun keraguan terus menyelimuti hatinya.

"Masuk, jangan? Masuk, jangan?"

Sejak awal, Winda memang tak pernah sekalipun masuk ke sana. Ia malu, merasa tak pantas, tak becus dan tak berguna sebagai anak. Hari ini ia memberanikan diri untuk datang sendirian ke rumah sakit, tanpa memberitahu siapapun, bahkan Nathan. Rasa bersalah dan takut tidak boleh membuat dirinya menjadi pengecut yang lari dari masalah, itulah alasan Winda berdiri di sini.

Winda memegang gagang pintu, menghembuskan napas berat, dan masuk perlahan. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang, mengangkat kepalanya yang menunduk sejak masuk tadi. Terpampang jelas di depan matanya, seorang wanita kurus nan pucat dengan berbagai alat bantu hidup yang terpasang di tubuhnya. Mata wanita itu cekung saking kurusnya. Dipandanginya wanita yang melahirkan dan membesarkannya ini dalam-dalam. Ada damai dalam wajahnya yang terlelap sejak 3 minggu terakhir. Winda menggenggam tangan kurus mamanya yang dingin.

"Mama..", panggil Winda pelan.

Air mata Winda langsung mengalir deras. Untuk beberapa lama, Winda tak sanggup melanjutkan kalimat-kalimat yang sangat ingin ia katakan. Ia mencium tangan Mamanya, menangis sepuasnya sembari bersusah payah menahan suara.

"Winda.. Winda di sini, Ma.."

"Sakit banget ya Ma?"

"Ini salah Winda.. Winda jahat ke Mama sama Juno."

"Winda ga pantes hidup.. Winda malu hidup.."

"Mama boleh benci Winda.."

"Tapi kebencian.. Akan bikin jantung.. Sakit.."

"Kalo Mama bangun.. Lupain Winda.. Anggap.. Winda ga ada.."

"Winda akan pergi, biar Mama ga liat.. Bedebah kayak Winda.."

"Winda.. Winda sayang.. Sayang Mama.."

Winda terus berusaha berkata-kata sejelas mungkin meski terisak dan sulit bernapas akibat tangisnya. Ia mengelus-elus tangan sang Mama sembari meredakan isaknya sebelum pulang ke kosnya.

"Winda pulang..". Winda mengecup kening mamanya lama sebelum pergi. Meski masih banyak yang ingin Winda katakan pada mamanya, Winda tetap merasa lega. Setidaknya, ia telah berani datang dan meminta maaf meski tak yakin sang Mama bisa mendengarnya.

Seorang laki-laki masuk ke ruang rawat Windi setelah Winda pergi. Rupanya ia sejak tadi memantau Winda diam-diam dari luar. Ia melihat begitu jelas Winda yang menangis. Lelaki itu masuk dengan tenang, meletakkan bunga di nakas samping ranjang dan menyemprotkan parfum aromaterapi di sekitar Windi.

"Saya rasa, Winda tak pernah menangis seperti itu pada siapapun selain saudaranya. Dia anak yang baik. Dia rapuh namun berpura-pura kuat. Sepertinya dia begitu karena berharap dirinya akan lupa bahwa ia tengah berpura-pura kuat. Dia memaafkan semua orang, tapi sayangnya ia malah berpikir bahwa ia adalah dalang segala kesialan orang lain."

Lelaki itu kemudian memandang wajah Windi setelah berkata sembari memandangi bunga yang baru ia letakkan. Ia terperangah, air mata mengalir deras dari mata Windi yang terpejam. Tak sampai di situ, ia melihat jemari Windi yang bergerak-gerak.

"DOKTER!!"

⋇⋆✦⋆⋇ 

"Halo?"

"Kak.. Mama.. Mamaku sadar.."

"Huh? Beneran?!"

"Hu-um.."

"Kamu dimana?"

"Di kos. Aku baru bangun dan barusan banget buka hp, ternyata dari semalem Om Niko nelpon sama ngabarin aku, ini juga aku langsung nelpon kamu. Mama.. Mamaku.. Sadar dari semalem, tapi HPku lowbatt gabisa dihubungi. Om Niko gabisa jemput aku karena gatau kosku dan gatau rumah Karin buat nanya alamat kosku.", jelas Winda panjang lebar dan menggebu-gebu sambil menangis.

[COMPLETED] Why Noir? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang