Chapter 21 - Greatest Faker

21 3 0
                                    

Aku merebahkan diri di kasur dan memejamkan mataku sejenak. Penat sekali rasanya berbelanja kebutuhan sekolahku. Kak Wira, dialah yang membantuku kembali ke sini. Ya, aku kembali. Ada sesuatu yang memanggilku untuk kembali ke tengah kebisingan kota ini, kota tempat aku lahir dan dibesarkan. Dengan bermodal nekad, dengan sisa tabunganku yang berkisar 8 juta saja, aku pindah dan bertekad membayar biaya hidupku sendiri dan mencari kerja paruh waktu di kota ini. Karena nilai 8 juta, di kota, tentu adalah nominal yang sedikit dan akan habis dalam sekejap.

Aku kembali bukan karena Kak Nathan, bukan karena Karin, bukan pula karena Mama. Ada yang ingin aku raih, dan langkah pertama menuju itu adalah menamatkan pendidikanku. Aku tidak pulang ke rumah, aku menyewa sebuah kamar kos rekomendasi Kak Wira yang tak jauh dari kampus Kak Wira. Dengan ini, Kak Wira adalah satu-satunya orang dari panti yang mengetahui identitas asliku, meski hanya sebatas nama asli dan dimana aku bersekolah.

Aku datang ke sekolah bersama Kak Wira di jam pelajaran, tujuannya agar tidak ada murid yang tahu bahwa aku telah kembali dan membuat gosip aneh-aneh. Selain itu, aku memang tak ingin teman-teman dekatku tahu akan kembaliku, termasuk Juno. Maka dari itu, aku juga meminta pihak sekolah tidak menyebarkan kabar bahwa aku kembali. Pada pihak sekolah, aku bercerita bahwa hanya keluargaku yang tahu aku kembali. Lucunya, ketika pertama kali aku ke sekolah, aku bertemu dengan wali kelasku saat kelas 10, Bu Sabrina. Beliau langsung mengomeliku karena aku tidak berseragam dan tidak masuk kelas di jam pelajaran, sesaat kemudian beliau sadar bahwa aku adalah Arwinda Kusuma yang sudah hilang lebih dari 3 bulan dan langsung heboh memelukku. Ah, Bu Sabrina memang guru terbaik.

Dari Bu Sabrina, aku tahu bahwa mama menjelaskan pada pihak sekolah bahwa aku hilang setelah pamit pergi ke supermarket. Aku tersenyum mendengar itu. Setelahnya, aku segera mengarang cerita bahwa aku memang sengaja pamit pergi ke supermarket, namun sebenarnya ingin pergi ke rumah saudara jauhku dan berakhir tersesat, sehingga aku harus tinggal di daerah tempat aku tersesat. Aku juga menjelaskan bahwa aku tak pergi ke kantor polisi untuk meminta bantuan karena aku ingin mencoba pengalaman baru, yaitu hidup sendiri. Syukurnya, Bu Sabrina percaya meski sebenarnya kalau dipikir-pikir, alasanku bisa terbilang aneh. Aku lega karenanya, namun di sisi lain, sesak kembali menyelimuti dadaku. Mama benar-benar menganggap seksualitas Juno sebagai aib namun tetap melindunginya, sehingga mama mengarang cerita sedemikian rupa tentang kepergianku.

Mama. Mama membayar uang sekolahku 1 tahun penuh. Aku memang sudah tahu dari Kak Nathan tentang mama yang membayar uang sekolahku, tapi aku tak berpikir bahwa mama membayar uang sekolahku selama 1 tahun. Keterangan dari guru BK saat aku konseling, kala itu mama mengajukan pada pihak sekolah untuk tetap menjadikan status siswaku aktif, dengan mama yang akan terus membayar uang sekolah bulanan. Dengan sedikit negosiasi, pihak sekolah akhirnya menerima pengajuan itu, dengan waktu maksimal 1 tahun ajaran alias hanya selama aku kelas 11 saja. Aku mengerti, karena tentu saja sekolah tidak akan bersedia meluluskanku —yang notabenenya orang hilang, dan tentunya tidak mengikuti pembelajaran— dengan nilai yang lengkap, hanya karena aku berstatus sebagai siswa aktif.

Dari hasil konfirmasi dan konseling itulah, pihak sekolah dan guru-guru mapel yang bersangkutan sepakat bahwa aku harus menyelesaikan segala tugas dan ujian sebelum pergantian semester. Jumat sore kemarin, aku mengambil seragam sekolahku ke sekolah. Sekolahku memang memiliki seragam yang berbeda untuk setiap jenjang kelas, yang sama hanya ketika hari senin dan jumat, yaitu putih abu-abu dan pramuka. Aku tak perlu membayar ini, karena biaya seragam sudah mama bayarkan ketika daftar ulang kala aku pergi.

Kak Wira, dia benar-benar membantuku untuk kembali ke sini dalam berbagai hal. Mulai dari tempat kos, proses pindahan, hingga konfirmasi dan konseling dengan pihak sekolah bahwa aku akan kembali mengikuti pembelajaran. Kemarin adalah hari terakhir aku meminta tolong ke Kak Wira. Aku tak ingin merepotkannya lagi. Kak Wira sangat baik, tapi memang sikapnya tegas dan sangat logis. Kala di panti dulu, aku melihat sikapnya yang seringkali terlihat galak, padahal dia hanya berprinsip dan logis. Huh, maaf ya Kak Wira, ternyata kamu baik, maaf sudah menganggapmu jahat.

[COMPLETED] Why Noir? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang