Terlambat

622 95 49
                                    

Acara pernikahan dan resepsi Gendhis berjalan dengan lancar yang berlangsung dari siang hingga sore di sebuah gedung, Namira Ibunda Arjuan menangis terharu kala putrinya itu telah memiliki pendamping hidup dan berkurang juga orang yang tinggal di rumahnya. Tertinggal dirinya dan Enderu.

Hari ini pun Namira membujuk Arjuan untuk tak segera kembali ke Bandung, menatap sang anak yang tengah mengemasi pakaian ke dalam koper.

"Enggak bisa diundur lagi pulangnya mas ?"

Arjuan menghentikan aktivitasnya, pria itu menatap sang Ibu yang berada di ambang pintu kamarnya. "Kerjaan Arjuan di Bandung enggak bisa ditinggal begitu aja, banyak mahasiswa yang menunggu Juan."

Namira melangkah mendekat, menempatkan dirinya di samping sang putra pertamanya itu. "Mas di sini baru 2 hari, ibu masih kangen sama kamu."

"3 hari bu, kan Juan ke sini hari kamis."

"Ya beda itu, mas ke sini malam ya enggak kehitung. Besok aja ya pulangnya." Namira menatap Arjuan, lelaki itu menundukkan kepalanya.

"Baiklah, tapi bener ya Ibu jangan cegah Juan lagi besok." Namira mengangguk dengan senyum yang terbit di wajahnya itu.

Namira beranjak dari duduknya. "Ibu ke dapur dulu ya, mas mau makan sama apa ?"

Juan tersenyum. "Apa saja, mas suka apa yang Ibu masak."

Namira menggelengkan kepalanya. "Ibu masakin kamu batu pun kamu suka ya mas."

Arjuan terkekeh. "Enggak batu juga bu."

Namira lantas melenggang keluar dari kamar Arjuan meninggalkan pria itu seorang diri, Arjuan lantas menutup kembali kopernya dan dia simpan di pojok kamar. Mau bagaimana lagi tiket pesawatnya kembali hangus. Arjuan tak bisa membantah apa yang Ibunya inginkan itu. Orangtua satu-satunya yang masih dia miliki di dunia, maka Arjuan hanya bisa menuruti apa keinginannya. Untungnya besok hari Minggu, sehingga dia tak perlu izin tidak masuk kelas.

Arjuan melangkah keluar kamar, rumah kembali sepih. Sanak keluarga entah itu dari keluarga alm. Bapak juga keluarga Ibu sudah pulang semalam selepas acara resepsi Gendhis, begitupun dengan Arini yang kembali bersama suaminya. Enderu pun sudah kembali menjalankan Coasnya, selepas Subuh adik bungsunya itu berangkat ke rumah sakit tempatnya Coas.

Kakinya yang terbalut celana di bawah lutut itu menarik langkah menuju dapur, Ibunya itu tak masak sendiri melainkan bersama Mbok Iyah asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak Arjuan kecil.

"wonten ingkang saged Juan rencangi ?" tanya Arjuan ketika sudah berada di samping sang Ibu yang tengah menumis bumbu yang sudah diulek halus. [Ada yang bisa Juan bantu ?]

Namira menoleh, wanita akhir 50an itu lantas menggelengkan kepalanya. "Ora usah, wis mas lungguh wae." [Enggak usah, udah mas duduk aja]

"Juan gak bisa duduk aja bu,"

"Duduk aja mas, lagian Ibu dibantu sama Mbok Iyah." Mbok Iyah yang mencepol rambutnya itu mengangguk sopan dengan senyuman di wajah yang sudah tuanya itu.

Arjuan pada akhirnya menganggukan kepalanya dan memilih untuk kembali masuk ke dalam kamar untuk mengambil laptopnya, setelah mendapatkan laptopnya Arjuan memilih untuk bersantai di halaman belakang di mana Gazebo berada.

Arjuan mulai menyalakan benda berlayar 14 inchi tersebut, jntuk mengecek pekerjaan yang dia tinggal selama 2 hari ini. Hampir 2 jam lamanya Arjuan habiskan untuk mengecek file pekerjaan serta skripsi majasiswa bimbingannya itu.

Mendengar langkahan kaki membuat Arjuan mengalihkan atensinya dari laptop ke arah Ibunya yang kini tengah melangkah ke arahnya dengan membawa nampan, lelaki itu lantas tak tinggal diam. Arjuan bergegas mengambil alih nampan yang dibawa Namira lalu meletakkan nampan berisi sepiring pisang goreng, satu teko bening es jeruk.

Skripsweet | Suho IreneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang