Berkunjung

571 106 123
                                    

Menempuh perjalanan dari Yogyakarta menuju Bandung menggunakan pesawat membutuhkan kurang lebih 2 jam perjalanan, tak membuat Arjuan lelah untuk mengemudi mobil SUVnya menuju Majalengka. Mengapa dia tak langsung landing di Bandara Kertajati, karena dia ada urusan mendadak di Bandung. Membuat pria itu terlebih dahulu untuk pulang ke Bandung, baru siang harinya menuju Majalengka.

Sepanjang perjalanan Arjuan hanya mengandalkan Google Maps untuk menunjukkan arah kemana Arjuan tuju. Beruntungnya dari alamat yang dituju tidak jauh dari Majalengka kota, sehingga membuat Arjuan tak sulit. Mobil hitam milik Arjuan memasuki area perkampungan, matahari sedang panas-panasnya. Namun tak membuat anak-anak yang tengah bermain sepedah membuat mereka lelah, bahkan tawa terdengar hingga dalam mobil Arjuan yang memang kebetulan kaca jendelanya dibuka setengah. 

Tak lama mobil SUV hitam yang dikendarai oleh Arjuan berhenti tepat di depan pekarangan yang luas, pagar yang menjadi pembatas antara pekarangan dan jalanan. Arjuan keluar dari mobilnya dan melangkah menuju gerbang yang terbuka, meski hanya untuk akses orang maupun motor lewat.

Halamannya yang luas, Arjuan memperkirakan jika bisa memasukkan mobil sebanyak 4-5 mobil di dalam pekarangan rumah ini. Rumahnya nampak sepih, namun tak membuat Arjuan gentar. Pria itu lantas melepaskan sepatu yang dia kenakan, menyisakan kaus kaki yang melingkupi telapak kakinya. Pria itu melangkah menuju pintu bergaya minimalis tersebut, diketuknya hingga tiga kali sembari mengucapkan salam.

Hingga terdengar sahutan dari dalam, Arjuan menghembuskan nafasnya berulang kali. Mencoba untuk menetralisir rasa gugupnya.

Pintu terbuka oleh wanita paruh baya yang menggunakan daster, sekarang Arjuan tau darimana tubuh kecil Airin berasal. Yaitu dari tubuh wanita yang ada di hadapannya ini. Wajahnya persis seperti Airin, mungkin seperti inilah wajah Airin tua nanti.

Yulia mengerutkan keningnya ketika berhadapan dengan Arjuan. "Nak Juan ya ?"

Arjuan mengangguk sopan seraya tersenyum simpul, lantas pria itu segera menyalami punggung tangan Yulia—Ibu Airin. "Benar bu, saya Arjuan."

Yulia menggembangkan senyumnya, wanita paruh baya itu nampak melihat ke arah luar gerbang. "Airinnya mana ?"

"Kebetulan saya datang sendiri bu, ada hal yang ingin saya bicarakan dengan Ibu dan Bapak." tutur Arjuan, pria yang menautkan kedua tangannya ke depan itu masih bertutur kata dengan sopan.

Yulia nampak diam beberapa saat sebelum kemudian mengangguk, "tapi itu mobilmu gak mau dibawa masuk saja nak ?"

"Sepertinya tidak usah bu, saya sudah memarkirkannya dengan tepat. Jadi tidak akan mengganggu lalu lalangnya kendaraan."

Yulia lantas mengangguk kemudian mempersilahkan Arjuan untuk masuk ke dalam rumah. Arjuan lantas mengikuti langkah Yulia, pria itu pun menempatkan dirinya pada sofa yang berwarna coklat tersebut. Di dalam ruang tamu pun masih bertemakan coklat pastel, antara ruang tamu dan ruang keluarga pun terdapat tembok sebagai pembatas. Seperti rumah orangtua pada umumnya, di dinding terdapat hiasan bergambar Masjidil Haram.

"Sebentar ya, Ibu panggilkan Bapak dulu. Tadi sih di halaman belakang sedang memberikan makan love bird." Arjuan mengangguk paham, sepeninggalan Yulia Arjuan kembali mengedarkan pandangannya.

Di sisi tembok yang lain terdapat foto bayi hingga batita dua anak kembar yang dibingkai dengan ukuran besar, ukurannya hampir menyamai ukuran bingkai gambar Masjidil Haram. Arjuan tentu kenal siapa si kembar itu, Abi dan Ica. Dua keponakan Airin, bahkan mereka pun sudah mengenali Arjuan. Si kembar memanggilnya dengan sebutan omuan.

Ini pertama kalinya Arjuan menginjakkan diri di rumah orang tua sang kekasih, tempat Airin tumbuh hingga saat ini. Arjuan dengan refleks menegakkan tubuhnya, ketika netranya menangkap seorang pria paruh baya yang mengenakan pakaian rumah, yaitu kaos polos dan celana selutut.

Skripsweet | Suho IreneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang