"Asu," Yudis mengumpat pelan. Beberapa kali ia mencoba menaikkan tuas sekring, tapi listrik tak mau menyala. Mungkin ada korsleting atau kabel yang terkelupas, masalah klise untuk rumah kuno. Namanya saja rumah dari jaman belanda.
Ia akan mengecek nya besok pagi. Tidak saat ini. Di malam hari dengan hujan berangin seperti ini.
Sambil menutupi kepala, ia setengah berlari menembus derasnya air menuju rumah. Angin yang bertiup menggoyangkan dedaunan pohon rambutan tua di halaman depan.
Begitu sampai di teras, Yudis melepas mantelnya dan meletakkannya begitu saja di meja. Ia mengibas- ngibaskan bajunya yang agak basah. Lalu melangkah masuk ke rumah.
"Nay?" Yudis memanggil istrinya. Ia menyorotkan senter ke sekeliling. "Naya?"
Tak ada jawaban.
Yudis berjalan perlahan. Ia berjalan pelan agar tak terpeleset oleh tetes air dari celananya. Ruangan itu gelap total. Ia memeriksa dapur dan ruang makan, tapi tak ada siapa- siapa.
Kemana istrinya?
-OWEEEEKKK!!
Suara tangis memecah membuat Yudis tersentak. Itu suara tangis Ammar, bayinya. Dengan bergegas Yudis melewati ruang tamu menuju kamar.
Begitu berbelok dari ruang tamu, senternya menyorot sesosok perempuan berambut panjang yang berdiri tak jauh darinya.
"ASU!!" sekali lagi ia mengumpat. "Bikin kaget aja!"
Itu Kanaya, istrinya.
Kanaya tengah berdiri di depan pintu kamar. Ia nampak mematung menatap ke arah dalam. Suara tangis Ammar masih saja terdengar.
"Kamu kenapa, hey?" Yudis mendekat penuh keheranan dengan tingkah istrinya. "Ammar nangis tuh."
"..." Naya menoleh ke arah Yudis. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara. Tangannya terangkat pelan, gemetaran menunjuk ke dalam.
Ammar menangis makin kencang.
"Apa sih?" tanya Yudis setengah sebal. Ia mempercepat langkahnya menuju kamar. Begitu sampai di pintu, sorot senternya menerangi ruangan itu.
Yudis membelalakkan mata, nafasnya tercekat.
Dilihatnya Ammar tengah menangis di tengah ranjang. Kakinya menendang- nendang boneka monyetnya.
Di sudut ranjang, berdiri sesosok mahluk yang seluruh tubuhnya terbungkus kain. Kain berwarna putih yang nampak kotor oleh tanah lumpur. Kain di bagian wajanya sedikit terbuka, dengan rambut putih panjang yang sedikit menjuntai. Nampak kapas kecil masih menempel di lubang hidungnya.
Mahluk itu berdiri, dengan kepala yang bergoyang pelan. Ikatan di kepalanya berayun seirama dengan gerakannya. Ia bernyanyi parau untuk Ammar yang tengah menangis. Nanyian yang sangat dikenal Yudis.
"Tak lelo, lelo legung.."
Senter di tangan Yudis terjatuh ke lantai. Ia menatap lekat sosok berkain putih itu. Bibirnya bergetar seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Ia tak ingin percaya.
Sebab sosok itu sangat dikenalnya.
"Ibuuu!?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PITUNG DINO [complete]
Horror[Horor - umum] Story #2 Mendengar kabar bahwa terjadi sesuatu pada ibunya di desa, Yudis mengajak Kanaya, sang istri dan bayinya yang baru berusia tiga bulan untuk pulang ke kampung halamannya. Beberapa hari kemudian ibunya justru meninggal dunia. S...