"Astagfirullah..." lirih Mas Irham mengelus dadanya kaget saat pertama kali masuk kamar bu Retno.
Mas Irham adalah laki- laki seusia Yudis yang di anggap sebagai tokoh agama di daerah setempat. Merupakan lulusan IAIN Jember yang kini tengah mengajar di madrasah.
"Piye Mas?" tanya Roso. Hal pertama yang ia lakukan adalah memanggil Mas Irham setelah memastikan Bu Retno sudah meninggal.
"Lebih baik bersihkan bekas darah ini dulu," Mas Irham memberi instruksi. Ia mendekati ranjang, dan menutup mata Bu Retno. "Panggil orang- orang yang bisa dipercaya, atau saudara buat mengurus jenazah."
"Siap Mas," Roso mengangguk dan bergegas melaksanakan perintah Mas Irham.
Yudis yang baru saja tiba dari kota terlihat menangis di samping ranjang. Ia tak percaya- dan tak rela untuk percaya- bahwa ibunya meninggal seperti ini. Baru saja tadi pagi ibunya masih bercanda dengan cucunya, sekarang sudah tiada.
"Mas Yudis, turut berduka cita," Mas Irham berjongkok di sebelah Yudis. Ia mencoba menghibur Yudis. "Tapi sekarang Mas Yudis harus bantu saya mengurus jenazah ibu. Orang luar jangan sampe melihat ibu kayak gini."
Yudis menyeka air matanya sambil sesenggukan. Ia berdiri dan menenangkan dirinya sejenak. Lalu bersama Mas Irham membereskan sprei dan mengepel lantai yang penuh darah.
"Saya sudah info ke Pak RT, sebentar lagi akan di umukan dari musholla," Mas Irham memberi informasi. "Semoga orang- orang sudah pada pulang dari kebun."
-----
Jam empat sore, langit mulai gelap. Puluhan burung- burung beterbangan cepat berlomba kembali ke sarangnya. Bau air sudah mulai tercium pertanda bahwa hujan sebentar lagi turun.
Di luar, tetangga yang laki- laki sibuk memasang terop inventaris Musholla. Beberapa lainnya bergegas ke makam untuk menggali liang peristirahatan Bu Retno.
Di dalam ibu- ibu sibuk merawat jenazah Bu Retno. Mereka memandikan dan mengkafani Bu Retno sebelum membaringkannya di karpet yang digelar di ruang tamu.
Beberapa ibu- ibu nampak sedikit kaget dengan kondisi Bu Retno saat mereka memandikannya. Beberapa bagian tubuhnya serasa patah. Namun yang sedikit membuat mereka merinding adalah bagian rongga mata dan ujung- ujung jari Bu Retno yang menghitam. Mereka sedikit berkasak kusuk satu sama lain, namun memilih untuk menyimpannya demi nama baik almarhumah.
Sebagian ibu- ibu sudah sibuk di dapur; menanak nasi dan mengirisi daging sapi. Lainnya menyiapkan kopi panas. Naya juga berada di dapur mencoba membantu mereka, setelah tentunya menidurkan Ammar di kamar Yudis.
"Uwes Mbak, samean ke depan saja," ujar salah satu ibu- ibu. Ia menenangkan Naya yang masih sembap. "Biar di dapur kami saja yang urusin."
"Nggih Bu," Naya mengangguk. Ia beranjak dari dapur dan menuju ruang tamu.
Di ruang tamu, jenazah Bu Retno dibaringkan di tengah, ditutupi jarik cokelat bermotif kawung. Di sampingnya sebuah keranda bertutup kain hijau bertuliskan kalimat syahadat sudah disiapkan.
Naya berdiri di pintu ruang tamu. Ia menatap lekat jenazah mertuanya. Masih teringat jelas ekspresi sang ibu beberapa saat lalu. Matanya yang terbuka, menatap tajam kepadanya.
Bulu kuduk Naya merinding.
"Sini Nduk, bantuin," sebuah suara parau membuyarkan lamunan Naya.
Seorang nenek tetangga sebelah, menyentuh tangan Naya. Suara perempuan itu sangat menenangkan, membuat Naya merasa nyaman. Naya duduk di sebelahnya, dan ikut merangkai untaian bunga dan potongan pandan untuk dipasang di atas keranda.
KAMU SEDANG MEMBACA
PITUNG DINO [complete]
Horror[Horor - umum] Story #2 Mendengar kabar bahwa terjadi sesuatu pada ibunya di desa, Yudis mengajak Kanaya, sang istri dan bayinya yang baru berusia tiga bulan untuk pulang ke kampung halamannya. Beberapa hari kemudian ibunya justru meninggal dunia. S...