15.Dibawa

5.9K 632 7
                                    

Kokok ayam terdengar bersahutan di luar rumah. Langit masih berwarna ungu gelap, matahari belum terlihat terbit. Hawa yang terasa dingin membuat Roso dan Yudis tertidur nyenyak di sofa ruang tamu bergelung dalam sarung.

Yudis bergumam tak jelas. Ia bergelung makin dalam ketika seseorang menggoyangkan badannya.

"Mas.." suara Naya terdengar gemetaran.

"Apa Nay?" Yudis menjawab malas. Semalam ia tak banyak beristirahat karena berjaga bersama Roso.

"Ammar," Naya masih berusaha membangunkan Yudis.  "Ammar panas tinggi."

Yudis memaksakan diri membuka mata. Ia berjalan sambil menguap lebar. Tangannya menggaruk kepala, matanya terasa berat. Yudis berjalan setengah sadar menuju kamar dengan Naya berada di depannya.

Ammar berbaring tenang di atas ranjang. Bedongnya sudah di buka. Dahi dan badannya penuh dengan keringat.

"Coba," Naya menarik tangan Yudis, dan menyentuhkannya ke dahi Ammar.

Panas sekali.

Yudis seakan tersadar sepenuhnya. Ia duduk di tepi ranjang, menyentuh beberapa bagian lain tubuh Ammar. Panas.

"Ayo kita bawa Ammar ke puskesmas," Naya mengusulkan.

Yudis memandangi anaknya yang diam tak bergerak. Ia kembali menyentuh badan Ammar, hanya untuk memastikan. Tanpa sengaja, ia menyingkap sedikit baju Ammar.

Yudis melihat sesuatu. Ia membuka baju Ammar.

"Naya-" ujar Yudis datar. "-ini puskesmas nggak bisa nangani. Kita juga nggak bisa balik ke Surabaya hari ini."

-----

Mas Irham mengusap wajahnya. Bingung. Heran. Dan sedikit merinding dengan apa yang dilihatnya.

Ammar masih terbaring tak bergerak. Badannya panas penuh keringat. Dan di tubunya, dari dada hingga kaki, terdapat bekas tangan berwarna merah darah.

Seperti tangan manusia, tapi dengan jari yang kurus dan sangat panjang. Sama seperti tangan yang mencabik kain bedong Ammar.

"Ini-" Mas Irham tidak tahu harus berkata apa.

"Semalam kita lihat ibu Mas," Yudis memberi tahu. "Ibu ada di dekat Ammar. Berdiri di dekat anak ini."

Naya hanya bisa diam, menatap bingung kondisi Ammar yang tak sadar. Ia duduk di samping ranjang, mengompres dahi anaknya.

Mas Irham menarik Yudis menjauh dari Naya. Ia membawa Yudis keluar dari kamar. Ia tak ingin Naya mendengar apa yang akan ia katakan. Roso berjalan mengikuti mereka.

"Mungkin Ammar dibawa oleh ibunya samean," bisik Mas Irham.

"Di bawa gimana? Ammar masih di sini," Roso menunjuk Ammar yang berada di dalam kamarnya bersama Naya.

"Bukan fisiknya," Mas Irham menggeleng. "Tapi sukmanya."

"Maksudnya?"

"Jiwa anaknya samean di bawa ke alam goib Mas," Mas Irham mencoba menjelaskan lebih detil. Ia kembali menoleh ke arah kamar, seakan tak ingin pembicaraannya di dengar. "Kalo sudah sampe kayak gini, anaknya samean dalam bahaya Mas. Kalo nggak segera di tolong, bisa ndak balik sukmanya."

"Dengan kata lain.." Yudis tak melanjutkan kalimatnya. Ia sungguh tak ingin mengucapkan satu kata itu.

Mas Irham mengangguk pelan.

"Terus aku harus gimana Mas?" Yudis memelas. Sudah cukup duka saat ia kehilangan ibu, jangan sampai ia kehilangan Ammar juga.

"Aku coba hubungi dosenku di kampus dulu Mas. Dosenku paling paham yang urusan begini," Mas Irham berjalan keluar. Ia nampak menekan tombol nomor di ponsel, dan menelpon seseorang.

Bersamaan dengan itu, ponsel Yudis berbunyi. Sebuah pesan SMS masuk dari rekannya kantor.

"Cuk, nandi ae? Bos ngamuk2 kiy. Krjaan ke hmbat bgt ini!"

Yudis mengusap wajahnya kebingungan. Ia tahu ia sudah terlalu lama tidak masuk kantor. Banyak perkerjaannya yang terbengkalai. Namun di sini, ada yang juga tak bisa ditinggal.

Nyawa anaknya dalam bahaya.

Yudis menyandarkan kepala ke tiang di teras. Ia benar- benar lelah.

Ada apa sebenarnya? Kenapa ibunya harus menjadi seperti itu? Kenapa anaknya harus mengalami seperti ini?

Roso mendekat, memijit pundak Yudis.

"Sing sabar Mas."

PITUNG DINO [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang