Matahari telah meninggi ketika suara peluit kereta terdengar di stasiun Mrawan. Para penumpang yang masih berada di peron nampak bergegas menuju pintu gerbong. Mereka nampak mengangkat kardus besar dan barang- barang lainnya.
Yudis melempar puntung rokoknya di tanah lalu menginjaknya sampai padam. Ia menyalami Nasrul dan Mas Irham yang mengantar nya menggunakan mobil ke stasiun.
Yudis berlari kecil menuju gerbong dan melompat naik. Ia berdiri sejenak lalu mengangguk ke arah Nasrul dan Mas Irham yang berdiri di peron. Yudis berjalan masuk, mendekati Naya yang tengah asyik bermain- main dengan Ammar di kursi mereka.
"Masih sakit?" Yudis memeriksa lebam di wajah Naya. Naya menutupi sebagian wajahnya menggunakan masker medis dan topi rajut.
"Nggak," jawab Naya singkat.
"Ya sudah," Yudis membanting diri di kursi sebelah Naya. Ia menatap ke arah luar saat bunyi decit roda kereta terdengar, menandakan bahwa kereta mulai berjalan.
"Kamu istirahat saja, nanti aku bangunin kalo sudah sampai Surabaya."
-----
[lima jam sebelumnya]
Naya membuka matanya lalu terduduk di ranjang. Ia mengerjapkan matanya karena cahaya matahari yang masuk dari jendela. Cuit burung yang beterbangan di luar menandakan bahwa hari baru telah di mulai.
"Aduuh.." Naya meringis merasai perih di sebagian wajahnya. Ia menoleh ke sekelilingnya. Tak ada siapapun di kamar itu.
"Mas Yudis?" Naya beranjak dari ranjang lalu berjalan keluar kamar. Ia melewati lorong kamar dan menuju ruang utama. Tak ada siapapun.
Dilihatnya pintu ruang tamu yang terbuka. Naya memegangi pipi dan wajahnya, berjalan gontai menuju pintu. Lalu ia berhenti.
Nampak Yudis tengah duduk di kursi teras dengan Ammar dalam gendongannya. Ia tengah berbincang dengan Mas Irham dan Nasrul. Di atas meja tersaji beberapa gelas kopi.
Ammar sedang meminum susu dari botol, tangannya bergerak- gerak ceria.
"Pagi semua," Naya mendekati mereka.
"Mbak," Nasrul dan Mas Irham mengangguk.
"Semalem pas aku sampe sini-" ujar Yudis datar. "-kamu pingsan deket kamar, wajahmu bonyok semua gitu. Kenapa?"
Naya diam sejenak memandangi semuanya. Lalu ia menceritakan kejadian semalam tentang perbuatan Roso. Ia juga menceritakan tentang saat ia bertemu ibu dalam mimpinya. "Jadi Roso ngelakuin ini semua-"
"Roso udah mati Mbak," potong Nasrul. Nasrul baru saja pulang dari kota sebelah setelah mengirim hasil kebun. "Lagi rame di gumitir, Mbak. Mobilnya nabrak pohon hampir masuk jurang. Terus mobilnya kebakar sampe habis gitu sama dia di dalem. Lagi di urus polisi tuh."
"Iya, pak RT sama Pak Kades lagi ke lokasi," tambah Mas Irham.
"..." Naya tidak menunjukkan reaksi apapun. Ia sendiri tidak tahu harus merasa senang atau sedih.
Yudis hanya diam memandang kejauhan. Ia sangat tidak habis pikir, bahwa Roso bisa berbuat seperti itu sama Naya. Roso yang merupakan temannya sejak kecil bahkan lebih seperti saudara.
Naya mendekati Yudis dan mengambil Ammar dari gendongannya. Ia tersenyum melihat Ammar yang menatapnya lekat dengan mata bulat mungilnya.
"Omong- omong," Nasrul menyisip gelas kopinya. "Apa ketahuan siapa yang ngubur santet di pohon rambutan?"
"Ndak," Mas Irham menggeleng. "Kata dosenku, nyari siapa orang yang kirim kayak gitu nggak segampang dikira orang Srul."
"..."
"..."
"Ya sudahlah, yang penting sudah berakhir," Yudis beranjak dari kursi. Ia berjalan ke arah pekarangan, berdiam di bawah siraman matahari pagi yang hangat.
"Semoga nggak ada yang kayak gini lagi.""Keretanya berangkat jam berapa?" Mas Irham mengalihkan pembicaraan. "Nanti biar aku sama Nasrul yang antar."
-----
Jam bandul di ruang tamu berdentang sepuluh kali, menandakan bahwa dua jam lagi kereta mereka akan berangkat.
Yudis membaca beberapa pesan SMS yang masuk ke dalam ponsel nokia nya. Kebanyakan isinya tentang peringatan dari bos di kantor, mengenai pekerjaannya yang tidak beres dan bahwa ia harus menghadap HRD saat sampai di Surabaya.
Yudis menghebus nafas panjang. Ia sudah tak lagi peduli. Ia sendiri juga sudah lelah dengan kehidupan di Surabaya. Ia tak mendapati apa yang ia inginkan; nyaman. Mungkin ia akan mengajukan resign, dan kembali ke sini: mengurus kebun peninggalan bapak.
"Dari kantor? Kenapa Mas?" tanya Naya yang baru saja mengobati luka di sudut bibirnya.
"Nggak," Yudis meletakkan ponselnya. Ia melanjutkan kegiatannya untuk mengepak baju- baju Naya dan perlengkapan di dalam carrier Alpina nya. Sejenak ia memandang Naya yang tengah melipat baju Ammar.
"Nay?"
"Iya?"
"Menurutmu gimana kalo seandainya kita pindah ke sini?" Yudis menghentikan kegiatannya. Ia ingin melihat reaksi Naya tentang ide nya.
"Serius?" Wajah Naya berubah sangat cerah. "Mau banget! Di sini enak Mas, nggak kayak di Surabaya. Setiap hari cuman diem di dalam kamar ukuran kecil kayak gitu. Sumpek aku tuh!"
"Nggak takut?" Yudis mencoba memastikan. "Setelah kejadian kemarin itu?"
"Gimana ya?" Naya berpikir sejenak. "Setelah kemarin diberesin tuh, kayak suasana rumah ini berubah adem gitu loh. Nyaman."
Yudis tersenyum. Ia sendiri juga merasakan hal yang sama. Meskipun tua, rumah ini adalah tempatnya menghabiskan masa kecilnya. Ia merasakan rumah ini jadi seperti dulu.
Dan setelah ibu meninggal, siapa lagi yang akan mengurus rumah ini kalau bukan dirinya?
Yudis bersenandung kecil. Ia sudah mantap dengan pemikirannya. Naya ikut tersenyum memandang suaminya yang nampak lebih bahagia.
"Ehheee.." terdengar suara tawa kecil.
"Kamu denger Mas?" Naya nampak terkejut. Ia beralih ke Ammar yang terbaring di tengah ranjang. "Ammar tertawa loh!?"
"Yakin?" Yudis mengerutkan kening sambil meneruskan kegiatan packing nya. "Umur tiga bulan emang sudah bisa ketawa?"
"Ih masa ga denger?" Naya meraih Ammar dari ranjang dan menggendongnya. Ia membenamkan wajahnya di badan Ammar dan menciuminya gemas. "Kenapa kok tertawa Nak?"
Naya terdiam sejenak. Samar- samar tercium aroma pandan di tubuh Ammar.
Naya mengangkat wajahnya, memandang berkeliling di dalam kamar. Ia tersenyum.
"Makasih Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
PITUNG DINO [complete]
Horror[Horor - umum] Story #2 Mendengar kabar bahwa terjadi sesuatu pada ibunya di desa, Yudis mengajak Kanaya, sang istri dan bayinya yang baru berusia tiga bulan untuk pulang ke kampung halamannya. Beberapa hari kemudian ibunya justru meninggal dunia. S...