BONUS

6.3K 638 46
                                    


"Mana tas nya Mas saya bawakan," Roso bergegas turun dari kursi sopir. Ia menawarkan bantuan.

"Loalah, uwes tah! Kayak sama siapa aja," Yudis menolak ramah. Ia mengambil tas bawaannya dari kursi belakang. Disusul Naya turun dari mobil.

"Oke deh, kalo gitu aku langsung saja Mas," Roso mengangguk. Ia kembali ke kursi sopir.

"Loh, mau ke mana kok buru- buru?" Yudis memanggul tas carrier nya.

"Ada urusan bentar, tadi belum selesai soalnya," Roso menutup pintu mobil.

"Walah, aku jadi ngerepotin samean harus jemput ke stasiun dong," Yudis menggaruk kepala tak enak.

"Halah, Mas! Kayak sama siapa aja," Roso terkekeh. Ia mengendarai mobil itu meninggalkan rumah.

Roso mengisap rokoknya dalam. Pandangannya menyapu jauh ke depan, fokus mengendarai mobil carry tua itu melewati kelokan aspal bukit Gumitir. Ia melajukan mobil menuju sebuah tempat.

----

"Sudah lengkap semua orangnya?" tanya seorang laki- laki tua dengan suara menggelegar.

Laki- laki itu mengenakan celana hitam dan bertelanjang dada, memperlihatkan badan tegap walaupun usianya tak lagi muda.

Di kesepuluh jarinya tersemat cincin- batu akik berbagai jenis dan warna. Ia mengenakan kalung tali sabut kelapa yang diujungnya terikat taring celeng. Rambut putihnya yang panjang terurai tak beraturan. Ia terlihat seperti tidak mandi berhari- hari. Tangannya nampak mengelus- elus seekor anak kucing belang telon.

"Sudah Mbah," Roso mengangguk sopan. Ia duduk berhadapan dengan orang itu dengan sebuah tembikar kecil berisi bunga dan kemenyan di antara mereka. "Semua sudah datang dari Surabaya."

Roso menyodorkan foto keluarga Bu Retno bersama Yudis dan Naya.

"Saya pingin mereka semua mati, Mbah,"ujar Roso datar. Ia menatap penuh benci ke arah wajah Yudis. "Saya pingin tanah kebun dan semua warisan jadi milik saya."

Orang tua yang di panggil Mbah itu mengangguk- angguk paham. Tangannya masih mengelus anak kucing yang mendengkur itu.

"Saya pinginnya orang ini mati terakhir Mbah," Roso menunjuk wajah Yudis. "Biar dia ngerasa kesiksa dulu liat keluarganya mati satu- satu."

"..."

"Tapi kalo bisa Mbah, yang ini jangan dimatikan Mbah," Roso menunjuk wajah Naya dengan setengah salah tingkah. "Saya tresno sama dia. Saya pingin dia tergila- gila sama saya."

Si Mbah menatap ke arah yang ditunjuk jari Roso beberapa lama. Menatap wajah Naya yang tengah tersenyum. "Hmm, lare kok ayu temenan?"

"Nah!!" Roso berseru setuju. "Bisa kan Mbah?"

"Gampang itu, yang penting kan orang- orang ini mati dulu,"  ujar si Mbah terkekeh. Ia melipat foto itu menjadi kecil, dan memasukkannya ke dalam kantong kain hitam yang berisi tanah kuburan, dan lalu menambahkan potongan tulang kecil- entah apa.

Si Mbah menggulung kain hitam itu dengan kain kafan, dan mengikat kedua ujungnya sehingga sekilas berbentuk seperti boneka pocong. Si Mbah meletakkan benda itu di atas tembikar bunga. Di gendongnya anak kucing yang sejak tadi dibelai di sebelahnya.

Lalu ia menghunus sebuah keris.

Dengan gerakan cepat ia mengiris leher anak kucing tersebut, memegang ekornya dan menggantungnya terbalik. Darah mengalir deras di atas kain dan bunga itu, menjadikan semuanya merah pekat. Anak kucing itu bergerak- gerak kejang selama beberapa saat. Darah terus keluar sampai akhirnya menetes- netes perlahan.

Si Mbah meletakkan kucing mati itu di atas piring tembikar, lalu mengatupkan tangannya. Ia menggigit keris yang berlumuran darah kucing di mulutnya. Matanya terpejam rapat dan mulutnya bergerak tanpa suara.

Roso hanya terdiam mengamati si Mbah yang nampak mematung. Beberapa bulir air keringat menetes sepanjang dahinya. Mata Roso beralih ke arah tembikar. Asap kemenyan yang membumbung tinggi, perlahan bergerak turun. Lalu masuk ke dalam gulungan kafan seakan kain itu mengisapnya.

"Nanti pas matahari sudah tenggelam, kamu pendam ini di dekat rumah."

*****

Tadi seusai maghrib, Roso yang baru tiba dari rumah si Mbah langsung memendam benda itu di bawah pohon rambutan.

Kini ia tengah berada di kamarnya, di rumah belakang yang terpisah dari rumah utama.

Ia mengintip dari jendela. Dari sini ia bisa melihat ke teras rumah utama, di mana terlihat ketiga orang itu tengah asyik bercengkrama.

Mata Roso lekat menatap sosok Naya yang nampak cantik mengenakan daster selutut.

Roso menaruh rasa dengan Naya sejak pertemuan pertama mereka. Yaitu saat pertunangan Yudis dan Naya. Sosok Naya yang anggun dan sangat perempuan menjadikan Roso seakan leleh dibuatnya.

Pertemuan ke dua, yaitu saat acara pernikahan Yudis dan Naya. Darah Roso berdesir saat melihat kecantikan Naya mengenakan baju pengantin adat jawa. Kulitnya yang bersih langsat di balut kemben sedada membentuk lekukan indah, membuat Roso semakin mantap untuk bisa menguasai Naya.

Setahun lebih lamanya Roso membayangkan Naya dalam malam- malam kesendiriannya. Foto bersama Yudis, Naya dan dirinya saat acara pernikahan ia jadikan sebagai pemuas gelora dalam dadanya. Berandai- andai Naya bisa menjadi miliknya.

Lalu puncaknya, saat tadi pagi bertemu Naya di stasiun. Naya yang baru melahirkan tiga bulan lalu tampak jauh lebih cantik. Tubuh ibu muda itu menjadi lebih berisi. Sangat pas dengan selera Roso.

Nafas Roso memburu memandangi Naya dari kejauhan.

Sebentar lagi.

Sebentar lagi ia tak perlu berandai- andai lagi. Roso hanya perlu bersabar sebentar lagi.

"Gimana Nay? Kamu mau sama Roso?" Yudis mengedipkan matanya menggoda Naya.

"Tak tutuk loh ndasmu!" Naya mencubiti pundak Yudis.

"Adududuh!" Yudis memegangi tangan ibunya. "Bu, lihat ini loh tingkah mantumu!"

Bu Retno tertawa melihat tingkah anak dan menantunya. Ia menepuk- nepuk cucunya yang nampak terusik suara keduanya.

Mata Roso melirik ke arah pohon rambutan. Ia melihat kepulan asap putih yang keluar dari tempatnya memendam benda pemberian Mbah. Asap putih itu melayang- layang, di atas pohon.

Pelan asap putih itu berkumpul semakin banyak, membentuk sesosok perempuan.

Lalu sosok itu melesat, ke arah Bu Retno. Bersama dengan hembusan angin yang membuat daun kering beterbangan. Bayangan putih itu merasuk, membuat Bu Retno yang sudah sepuh terbatuk- batuk keras.

Roso tersenyum.

Permainan di mulai.

PITUNG DINO [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang