"Kamu ga usah ikut. Ini bukan liburan, " Yudis memasukkan baju dan lain- lainnya ke dalam tas. Ia sudah meminta ijin ke kantor, dan bersiap bertolak naik kereta malam itu juga. "Cuman dua hari doang. Malah capek di jalan nanti."
"Mas, aku ke rumah kamu cuma sekali doang waktu kita habis nikah," Naya cemberut mencubiti pipi Ammar. Ia berkeras ingin ikut karena merasa bosan di kost terus. "Lagian, ibu belum pernah ketemu Ammar kan?"
Yudis berpikir sejenak. Memang semenjak lahir Ammar belum pernah bertemu neneknya. Selain karena kesibukannya bekerja, juga karena jarak perjalanan yang cukup jauh untuk bayi seusia Ammar.
Tapi kali ini mereka akan naik kereta. Walaupun sama berdesakan penumpang dan tak ber-AC, tapi lebih baik ketimbang naik bus.
"Oke deh," ujar Yudis singkat. "Satu jam lagi kita berangkat ke Gubeng."
-----
Matahari baru saja terbit ketika Yudis terbangun. Ia mengerjapkan matanya, memandang ke arah luar. Langit nampak indah berwarna ungu terang, dengan burung- burung kecil yang mulai bermunculan.
Sawah- sawah dan pepohonan kelapa berkelebat berlawanan arah dengan kereta.Suara klakson panjang dari lokomotif kereta menandakan kereta akan tiba di tujuan. Laju kereta melambat, lalu berhenti di depan sebuah depo kecil.
Kereta mereka tiba di stasiun Mrawan. Sebuah stasiun kelas III dengan ketinggian 524 mdpl yang terletak di dekat sungai Mrawan, di daerah Silo, Jember.
Stasiun itu terletak membelah sebuah bukit besar bernama Gumitir yang menjadi perbatasan Jember dan Banyuwangi.
Stasiun kecil, namun indah karena terletak tengah perkebunan yang sudah ada sejak jaman Belanda.Lima- enam orang beranjak turun dari gerbong. Tak banyak, memang. Sebab tak banyak juga orang yang memiliki keperluan untuk turun di stasiun terpencil seperti ini.
Terlihat Yudis mengenakan sebuah carrier Alpina berukuran 90 liter dan membawa sebuah tas jinjing besar. Carrier berisi baju dan segala perlengkapan miliknya dan Naya. Sedangkan tas jinjing berisi pakaian, dot susu, dan popok Ammar.
Sementara Naya mengenakan sebuah gendongan instan, dengan Ammar yang tertidur di lengannya.
Kanaya berhenti sejenak, ia menatap pemandangan indah di sekelilingnya. Sebuah kemewahan yang tak bisa ia dapatkan di Surabaya. Sudah lama sekali ia tak berkunjung ke tempat ini, ke rumah mertuanya.
Yudis dan Naya berjalan bergandengan menuju pintu keluar Stasiun.
"Mas Yudis!" sebuah seruan terdengar di kejauhan. Seorang laki- laki seusia nya berlari mendekat.
"Roso!!" Yudis tersenyum lebar melihat Suroso. Ia segera menjabat dan mendekap teman masa kecilnya itu.
Suroso adalah anak dari rewang Bapak di kebun dulu. Saat kecil, Bapak membantu menyekolahkan dan memenuhi keperluan Suroso. Yudis dan Roso sering membantu Bapak mengurus kebun, ikut memasarkan kopi dan lainnya.
Lulus dari SMA, Yudis melanjutkan pendidikan di Surabaya, bahkan sampai meniti karir di sana. Sedangkan Roso semakin rajin membantu Bapak di Kebun. Hingga Bapak meninggal, Roso tetap melanjutkan usaha perkebunan Bapak.
Saat ini, Suroso lah memegang dan mengolah kebun milik Bapak dulu. Bisa di bilang, Suroso adalah tangan kanan keluarga. Ibu bisa tenang melewati masa tuanya.
Mereka bertiga berjalan menuju sebuah mobil minibus Suzuki Carry tua yang sudah ada sejak jaman Bapak dulu.
Mobil itu melaju pelan melewati jalan perumahan dekat stasiun. Mendaki menuju sebuah desa kecil yang terletak di bukit Gumitir. Desa kecil yang indah bernama Pekopenan karena dikelilingi kebun kopi milik Bapak dan PTPN.
"Lama gak ke sini, kayak nya nggak banyak berubah," Yudis yang duduk di kursi depan nampak menikmati suasana di sekelilingnya.
"Lah desa kecil kayak gini, apa yang mau di rubah Mas?" timpal Roso sambil tertawa. Tangan kirinya mantap memegang setir, dan tangan kananya berada di luar jendela, dengan sebatang kretek menyala.
Sepanjang perjalanan, Yudis dan Roso nampak banyak bercerita tentang keseruan mereka dulu. Memanjati pohon rambutan, berenang di sungai, bermain di rel kereta, dan kenakalan lainnya.
Sekitar 15-20 menitan mereka memasuki pintu desa Pekopenan. Sepanjang jalan, beberapa orang tua yang ada di desa nampak menyapa mereka.
Naya memandang ke luar jendela penuh minat. Rasanya sangat berbeda dengan di Surabaya. Di sini masih asri. Pohon- pohon pepaya pendek tumbuh di kanan kiri jalan, jika ada buah yang matang siapapun boleh mengambil. Tanaman- tanaman ramban tumbuh subur di penjuru desa.
Mobil terus melaju hingga mendekati ujung jalan. Dari kejauhan, di balik rerimbunan pepohonan, terlihat sebuah atap rumah menjulang.
Yudis tersenyum dan berujar pelan, "Kita sudah sampai, Nay."
KAMU SEDANG MEMBACA
PITUNG DINO [complete]
Terror[Horor - umum] Story #2 Mendengar kabar bahwa terjadi sesuatu pada ibunya di desa, Yudis mengajak Kanaya, sang istri dan bayinya yang baru berusia tiga bulan untuk pulang ke kampung halamannya. Beberapa hari kemudian ibunya justru meninggal dunia. S...