6.Tatapan

7.5K 734 11
                                    

Menjelang bada maghrib, hujan sudah berhenti sepenuhnya.Sesuai adat setempat, biasanya diadakan pembacaan doa selama tujuh malam jika ada warga meninggal. Dapur di belakang sudah kembali ramai oleh ibu- ibu. Sementara ruang tamu masih nampak kosong.

Baru satu dua orang bapak- bapak yang datang. Sebagian bapak- bapak lainnya masih berada di mushola, atau masih di rumah karena sore tadi kehujanan.


Yudis berdiri di depan teras, mengenakan kemeja dan sarung. Sebagai tuan rumah dan satu- satunya keluarga almarhumah, ia harus menyambut dan menyalami setiap warga yang datang.

"Mas, ibu saya kenapa ya?" bisik Yudis lemas. Pandangannya menerawang kosong. Ia terlihat masih belum bisa menerima kepergian ibunya, terlebih dengan segala kejadian aneh tadi.

"Maksudnya Mas?" Mas Irham berdiri di sebelah Yudis. Ia ikut menyambut tetangga yang hadir dan mengarahkan mereka masuk.

"Ya, Mas lihat sendiri gimana keadaan jenazah ibu saya. Terus saat pemakaman nya, ada hujan- kuburannya longsor- ada petir juga," suara Yudis bergetar. Ia sangat termakan oleh bisikan- bisikan pengiring yang sempat didengarnya;

Bahwa amalan almarhumah Bu Retno tidak diterima.

"Waduh Mas! Ndak boleh gitu!" Mas Irham menepuk pundak Yudis. Ia mulai paham maksud Yudis. "Hujan dan petir itu kejadian alam biasa, bisa saja cuma kebetulan."

"..."

"Kita tidak boleh berpikir suuzon sama Gusti Allah. Kita ini menungsa, tidak tahu apa yang menjadi rahasia Nya."

Yudis diam mendengarkan sambil menendangi kerikil kecil.

"Wong sama temen sendiri saja kita tidak bisa menebak apa maksud seseorang, lah kok samean berani menduga apa maksud Gusti Allah?" Mas Irham sedikit memberi nasehat untuk Yudis. "Ndak nyampe pikiran kita."

"Tapi kan memang katanya begitu Mas," Yudis masih belum puas. "Katanya kalau ada hal- hal yang menghambat pemakaman seseorang, itu karena semasa hidup-"

"-sudah Mas," Mas Irham menyela. Ia sejenak tersenyum, bersama Yudis untuk menyalami beberapa tetangga yang mulai berdatangan.

"Daripada samean mikir aneh- aneh, lebih baik kalo kirim doa untuk almarhumah. Apalagi samean putranya sendiri. Doa yang utama untuk ahli kubur itu ya doa dari anaknya."

"..."

"Lihat ini, mereka yang datang ke sini. Bapak- ibu sekitar ini datang membantu acara kirim doa buat ibunya samean," Mas Irham menunjuk orang- orang yang berdatangan di ruang tamu dan dapur belakang.

"Karena semasa hidup ibunya samean ya baik sama mereka."

Yudis merenungkan kalimat Mas Irham. Ada sedikit perasaan lega setelah mendengar penjelasan darinya. Sebuah senyum tipis tergambar di wajah Yudis.

-----

Di kamar, Naya duduk di ranjang sambil bermain dengan Ammar yang berada dalam gendongannya. Jari- jari Naya menggelitiki pipi dan leher Ammar yang tertawa tanpa suara.

Awalnya Naya membantu ibu- ibu melakukan pekerjaan di dapur. Namun ia mendengar Ammar menangis di kamar, maka Naya ijin undur diri sebentar.

"Laper?" Naya tersenyum melihat Ammar. Tangan mungilnya menggenggam satu jari Naya, dan mengisapnya kuat.

"Sebentar ya," Naya merebahkan Ammar di ranjang dan beranjak ke depan cermin. Ia menyibak rambut di bahu lalu membuka kancing depan daster menyusui nya.

Naya kembali dan merengkuh Ammar dalam gendongnya. Mulut Ammar terbuka lebar menyambut.

"Aduh, ternyata anak ibu laper banget," Naya senang melihat Ammar nampak lahap meminum ASI. Biasanya ia hanya mau minum sedikit.

Beberapa lama Naya menggoyang gendongan tangannya sambil berputar pelan di dalam kamar. Mata Ammar mulai setengah terpejam.

-SREEEKKK

Naya berhenti bergerak. Sekilas lalu ia mendengar suara dari luar jendela kamar. Mata Naya melirik ke arah luar.

Tak ada apa- apa. Hanya gelap karena memang di luar jendela kamar adalah taman kecil penuh rerimbunan tanaman hias.

Naya  kembali menggoyangkan gendongannya. Kakinya melangkah kesana- kemari berputar pelan. Ia sangat menikmati wajah Ammar yang hampir terlelap.

Perlahan Naya berputar menghadap cermin. Lalu dari pantulannya, tanpa sengaja ia melihat ada sesosok bayangan di luar jendela.

Naya refleks berputar balik.

Tak ada apa- apa.

Seketika bulu di leher Naya meremang.

Sesaat tadi ia merasa ada sesuatu yang menatapnya tajam.

-----

"Sepurane baru datang Mas," Roso yang baru muncul menjabat tangan Yudis dan Mas Irham. Ia mengenakan baju taqwa dan sarung. "Tadi habis mandi cari bajunya agak lama, soalnya yang ada di gantungan cuman baju kebon sama baju partai."

Mas Irham tertawa. "Ya ndak apa Mas. Gusti Allah ndak ngurus samean pake baju partai, yang penting sambung doanya ikhlas."

Yudis menunjuk ke dalam ruang tamu. "Sudah lumayan rame Mas Irham. Apa bisa di mulai sekarang?"

"Mari- mari, ayo!" Mas Irham merangkul kedua orang yang baru mengalami musibah ini. Mereka berjalan ke dalam.

Mas Irham memimpin pembacaan Yaasin. Warga- warga yang lain ramai mengikuti bacaan Mas Irham, ada yang menghafal dan ada yang membaca buku kecil.

Yudis memejamkan matanya, dengan tulus mengamini setiap doa- doa yang dibaca. Roso duduk di pinggir ruang tamu, diam merenung dengan rokok menyala di jarinya.

Lantunan bacaan ayat suci terdengar menggema di sekitar rumah tua itu. Suasana di sekelilingnya menjadi terasa begitu tenang. Tak ada angin, dan pepohonan di sekitar tak bergerak sama sekali. Seakan ikut menyimak firman- firman Tuhan yang didengungkan.

Tanpa orang- orang di rumah itu sadari, ada pemandangan aneh di pekarangan depan. Dedaunan pohon rambutan besar itu bergoyang sendiri. Seakan ada yang menggerakkannya.

PITUNG DINO [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang