Yudis memasukkan bungkusan plastik berisi buhul itu ke dalam sebuah tas kecil. Ia mengenakan jaket bomber nya. Lalu menyomot beberapa potong rebusan ubi dan meminum segelas kopi panas untuk membuatnya tetap terjaga.
Ia akan pergi ke kota bersama Mas Irham untuk menemui seseorang yang bisa dianggap pintar menangani benda semacam ini.
"Lama enggak?" Naya nampak sangat- sangat keberatan untuk di tinggal di rumah. Selain karena Ammar masih belum sadar, juga setelah semua kejadian kemarin membuatnya sangat tidak nyaman. "Aku takut sendirian di sini."
"Mudah- mudahan gak lama," Yudis bersiap di teras menunggu Mas Irham yang masih mengambil motor di rumah. "Aku ngerasanya kalo benda ini gak diberesin, semuanya gak bakal selesai. Ya soal ibu, ya soal Ammar."
"Terus kalo ternyata sampe malem, aku gimana?"
"..."
"Nanti biar aku temenin Mbak," Roso menawarkan diri. Ia ikut menunggu di teras bersama Yudis. Di hari Minggu memang ia biasanya tidak pergi ke kebun. "Nanti kalo udah agak sore, aku jaga di rumah sampe Mas Yudis balik."
Yudis tersenyum. Ia mendekap Roso yang sudah banyak membantunya selama ini. Sahabat sedari kecil yang sudah dianggapnya lebih dari saudara. "Untungnya aku punya orang kayak samean Ros."
"Lah kalo bukan aku siapa lagi yang bantu samean?" Roso ikut tersenyum.
"Yang penting ibu bisa tenang, sama Ammar bisa sehat lagi aku sudah syukur banget," ujar Yudis. Kemudian ia menoleh ke arah jalan desa.
Mas Irham muncul dari ujung menuju pekarangan. Mata Yudis mengikuti sosok Mas Irham yang mendekat sambil mengendarai Honda Tiger.
" Ayo," Mas Irham berhenti tepat di depan Yudis. "Kita harus cepat."
-----
Motor yang dikendarai mas Irham meliuk melaju kencang menyusuri jalanan beraspal menuju area kota. Hampir satu jam lebih mereka berkendara. Menjelang siang, kedua orang itu sudah masuk ke kota Jember.
Pepohonan dan sawah di kiri kanan sudah berganti pertokoan dan rumah- rumah. Kendaraan juga mulai terasa memadati jalanan.
Mas Irham nampak fokus mengendarai motornya, dengan Yudis berada di belakang.
"Mas!?" Yudis setengah berteriak karena kerasnya suara angin dan mesin motor. "Dosennya samean memangnya bisa nangani kayak gini?
Mas Irham tersenyum, tangan dan kakinya bergerak cekatan mengatur kopling. "Dosenku itu jebolan pesantren Jombang, Mas. Soal tirakat- tirakat dan amalan sunnah udah sehari- hari. Puasa senin-kemis gak pernah putus. Pokoknya top!"
"..."
"Dia memang punya linuwih Mas! Punya kelebihan mengenai hal- hal goib!"
Yudis mengangguk mantap. "Namanya siapa?"
"Pak Rofiq," ujarnya sambil melambatkan kecepatan motor. Mereka tiba di gerbang masuk sebuah perumahan kecil di belakang kampus IAIN Jember.
Motor berjalan perlahan melewati jalan utama perumahan. Lalu menuju sebuah rumah yang berada di ujung jalan. Sebuah rumah sederhana dengan sebuah pohon rindang di halamannya.
"Itu rumahnya," ujar Mas Irham ketika mereka mendekati rumah tersebut. Ia melambatkan laju motornya dan berhenti di dekat rumah. Ia dan Yudis berjalan mendekati pagar. "Alhamdulillah orangnya ada."
Ada dua orang yang tengah duduk di teras sambil berbincang. Mereka nampak sibuk membahas sesuatu, dengan berlembar- lembar kertas di atas meja.
Mas Irham mengucap salam. Kedua orang yang duduk di teras itu menoleh dan membalas salamnya.
Yudis menatap seseorang yang tengah memegang bendelan kertas. Orang itu memakai baju taqwa lengan pendek berwarna putih, dengan celana kain di atas mata kaki. Jenggotnya tipis, dan ada tanda kehitaman di dahinya. Wajahnya juga terlihat cerah. Yudis seakan bisa merasakan kebijaksanaan, kesederhanaan dan tingginya ilmu orang tersebut.
Yudis berjalan mendekati orang itu. Ia segera meraih dan mencium tangannya. "Pak Rofiq," ujarnya singkat.
Mas Irham yang masih berdiri di depan pintu pagar berdehem beberapa kali. "Mas Yud,"
"Iya?"
"Pak Rofiq yang itu Mas," Mas Irham menunjuk orang yang duduk di kursi lain.
Yudis menatap orang berbaju taqwa yang barusan ia cium tangannya. "Saya ini mahasiswanya Mas. Lagi revisian," ujar nya sambil senyum lebar.
Yudis mengangguk dengan senyum lebih lebar karena salah tingkah. Ia beranjak dan menyalami Pak Rofiq yang sebenarnya.
Pak Rofiq terkekeh melihat Yudis.
Pak Rofiq kira- kira berusia pertengahan 40 an. Ia merupakan orang berambut cepak, dengan perawakan kecil namun gagah. Ia nampak santai mengenakan celana jeans pudar dan kaos bergambar band 'Power Metal'. Ditangannya melingkar sebuah jam g-shock besar. Sebatang rokok terselip di mulutnya.
Penampilan Pak Rofiq lebih mirip seorang vokalis band metal ketimbang dosen, apalagi ahli ibadah.
"Pak Rofiq, ini Mas Yudis yang saya ceritakan tadi," Mas Irham menyalami dan mencium tangan Pak Rofiq.
Pak Rofiq menoleh ke arah mahasiswanya, dan menjelaskan bahwa ia kedatangan tamu yang lebih urgent. Dengan penuh pengertian, si mahasiswa mengangguk. Ia merapikan bawaanya dan meninggalkan tempat itu.
Begitu mahasiswanya telah menghilang dari pandangan, Pak Rofiq langsung bertanya kepada Mas Irham. "Kalian bawa apa ke sini?"
"Oh, ini-" Yudis mengeluarkan kantong plastik dari tas dan membukanya di hadapan Pak Rofiq.
"Wuuh, makanya hawa sekitar sini rasanya jadi berat sekali," Pak Rofiq menghembus asap rokok ke benda itu. Ia mengajak Yudis dan Mas Irham masuk.
Mereka bertiga duduk di ruang tamu. Istri Pak Rofiq menyajikan air putih dan cemilan kering.
Di dalam, Yudis menceritakan semuanya. Mengenai kematian ibunya yang tak wajar, mengenai penampakan- panampakan dan gangguan yang dia alami, juga mengenai Ammar. Lalu ia menceritakan tentang benda yang ia temukan terpendam di bawah pohom rambutan.
Pak Rofiq hanya mengangguk- angguk. Ia nampak mendengarkan setiap kata Yudis dengan seksama.
"Apa gara- gara benda ini ibu saya jadi pocong?" Yudis memberikan rentetan pertanyaan. "Anak saya juga, apakah di bawa oleh ibu saya? Apa bapak bisa bantu sembuhkan anak saya?"
Pak Rofiq memajukan tangannya, tidak sampai menyentuh buhul itu. Ia memejamkan mata beberapa lama. Rokok di mulutnya membuat asap yang memutih.
Yudis dan Mas Irham hanya diam memandangi Pak Rofiq. Lalu setelah beberapa lama, ia membuka mata.
"Betul. Sukmanya anakmu sedang ada bersama neneknya"
KAMU SEDANG MEMBACA
PITUNG DINO [complete]
Horror[Horor - umum] Story #2 Mendengar kabar bahwa terjadi sesuatu pada ibunya di desa, Yudis mengajak Kanaya, sang istri dan bayinya yang baru berusia tiga bulan untuk pulang ke kampung halamannya. Beberapa hari kemudian ibunya justru meninggal dunia. S...