21.Mertua

6.1K 662 5
                                    

Roso terhenyak. Ia teringat sesuatu tentang jarik batik kawung itu. Itu adalah kain batik yang digunakan untuk menutupi jenazah Bu Retno.

Pandangan Roso mengikuti kain itu ke atas.

Bu Retno berdiri- setengah melayang.

Dengan wajah pucat dan bola mata menghitam. Rambutnya yang putih panjang teurai menutupi wajahnya. Ia mengenakan baju kebaya yang digunakan saat ia meninggal, dengan bekas darah di seluruh tubuhnya.

Wajah wanita itu nampak nyalang penuh amarah.

"UWAAAAAH!!!" Roso melompat mundur hingga ke tepi lorong. "Nenek tua bangsat!! Kamu sudah mati!!"

Bu Retno hanya diam menatap mata Roso. Lalu menyeringai lebar, dengan suara terkekeh.

Dengan panik Roso bergegas meninggalkan tempat itu. Ia membanting pintu ruang tamu dan berlari menjauh dari rumah utama

Sosok Bu Retno berdiri- setengah melayang di dekat Naya yang tengah pingsan. Matanya menatap dingin ke bawah.

Ke arah Naya

-----

"Astagfirullah!!" Naya terbangun di atas ranjang.

Ia mengerjapkan matanya beberapa saat, lalu memandang ke sebelahnya. Tak ada Ammar maupun Yudis. Kemudian mata Naya beralih ke arah jendela, hari telah gelap.

Naya beranjak dari ranjang dan keluar kamar.

"Mas Yudis?" Naya berjalan menyusuri lorong. Tak ada jawaban. Tangannya memegang tembok sepanjang ia berjalan. Rumah ini terasa begitu sepi.

-OWEEEEEK!!!

Naya terpaku mendengar tangisan bayi. Itu suara tangis Ammar! Naya berlari terburu mengikuti arah suara ke teras depan rumah.

Begitu sampai di pintu ruang tamu, betapa terkejutnya Naya melihat sosok yang tengah duduk di teras. Kakinya serasa lemas.

Bu Retno. Duduk di teras menghadap pekarangan yang gelap. Dengan Ammar yang menangis kuat di dalam gendongannya.

"Kembalikan anakku!!" Naya berteriak histeris ke arah ibu mertuanya.

Bu Retno menoleh perlahan ke arah Naya. Wajahnya terlihat pucat dengan kelopak mata berwarna gelap. Ia menatap Naya tanpa ekspresi.

"Kemarilah nduk," ujar Bu Retno datar.

Naya tak bergerak. Ia tak bisa, ia terlalu takut.

"Kemarilah."

Naya menangis di depan pintu. Ia melorot terduduk di lantai. "Ampun bu, tolong kembalikan Ammar. Kalau ibu mau bawa aku saja. Jangan bawa Ammar!"

Bu Retno tersenyum. Senyum hangat yang menenangkan. Tidak ada kengerian sama sekali darinya.

"Kamu salah sangka sama ibu," ujar Bu Retno parau. "Kemari, duduk di sebelah."

Entah mendapat keberanian dari mana, Naya perlahan bangkit. Dengan jantung berdebar ia mendekat, lalu duduk di sebelah Bu Retno.

Ammar masih menangis di gendongannya.

Naya menahan nafas. Rasanya ia masih tak percaya saat ini tengah duduk di sebelah orang yang sudah tiada. Apakah ini nyata? Atau sebenarnya ini mimpi?

Bu Retno tersenyum sekali lagi, lalu mengulurkan tangannya. Naya sedikit ragu, namun ia mengulurkan tangannya juga.

Dan menggenggam tangan Bu Retno.

Seketika kepala Naya serasa berputar- putar. Semua ingatannya seakan berkelebat, berupa kilasan- kilasan kejadian yang berjalan cepat. Menjadi potongan- potongan puzzle yang saling bertaut satu sama lain.

PITUNG DINO [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang