[September 2005]
Yudis menghembus asap rokok mild nya. Di hadapannya, terlihat segelas kopi sachet yang tinggal seperempat. Ia dan beberapa rekan kerjanya tengah duduk di sebuah bangku kayu panjang, di sebuah warung kopi di pinggiran kota Surabaya.
Rekan- rekannya asyik mengobrol tentang bermacam hal. Sementara Yudis lebih banyak diam, mengunyah sepotong gorengan berminyak tanpa merasakannya. Matanya sibuk melihat tangannya sendiri yang tengah mengaduk- aduk gelas kopi.
Bosan.
Yudistira Setya, seorang pria berusia 28 tahun yang saat ini sedang bekerja sebagai pegawai kantoran di bidang cargo-shipping di daerah Jemursari.
Jam digital-sport di tangan Yudis menunjukkan angka 21:34. Sudah lumayan larut untuk sebagian orang beristirahat.
Namun tidak dengan kota ini. Jalanannya tak pernah sepi, lampu- lampu tak pernah mati. Seakan kehidupan tak ada henti. Suara klakson kendaraan yang memadati terdengar silih berganti.
Hingar kota yang memekakkan.
Nokia 6600 nya berbunyi. Yudis meraih ponselnya dari saku celana. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak di kenal.
Yudis menekan tombol merah. Reject. Ia meletakkan ponselnya di meja kopi.
"Lemes amat? Jam segini udah ngantuk?" tanya seorang rekan kerjanya.
"Nggak," Yudis mengisap mild nya. "Kesel."
"Ben gak lemes, maen ke dolly ae gimana?" usul rekan kerja lainnya.
"Jiancuk! Pinter arek iki!" sambut yang lain.
"Utekmu loh, Rek!" Yudis mematikan puntungnya di tatakan kopi. "Anakku baru tiga bulan!"
"Lah justru itu, istrimu habis lahiran begitu, pasti gak mau di ajak asah keris kan?"
"Garangan kabeh! Asu!" Yudis tertawa. Ia meletakkan selembar lima ribu di meja, sambil menaikkan resleting jaketnya. "Sudah ah, aku duluan!"
Yudis memasang helm, lalu menstarter motornya. Suara mesin 150cc terdengar menderu pelan, lalu Yudis melajukan Honda Megapro nya menyusuri jalanan.
-----
Motor itu terlihat memasuki sebuah gang kecil di daerah Mayjen Sungkono. Agak jauh dari tempat kerjanya memang. Sebab cuma di situ ia bisa menemukan kamar kos pasutri dengan harga yang sesuai bajet.
Namun sesuai pepatah: ada harga ada rupa. Kamar kos berukuran 4x6 itu temboknya di penuhi lumut. Plafon yang bolong, dan jika hujan terlalu deras sedikit saja bocor di mana- mana.
Tapi hanya itu kemampuannya. UMK sebesar 500.000 an nyatanya sangat pas- pasan untuk hidup berkeluarga di Surabaya.
Berhenti di depan kamar kos, Yudis mematikan mesin. Ia tengah memarkir motornya di teras, ketika seseorang keluar dari dalam.
"Belum tidur?" Yudis tersenyum pada Kanaya istrinya.
Naya hanya menggeleng. "Ammar belum tidur."
Yudis meletakkan tas kerja di meja, lalu duduk di kursi teras dengan kedua kaki terangkat.
"Ngapain?"
"Ya, suaminya pulang mbok ya sepatunya di copotin. Di bawain kopi, atau gimana."
"..." Naya menyilangkan tangannya sejenak, memandang lekat suaminya. Ia membuka sedikit kerah piyamanya. "Nyusu mau?"
"BUDAL!"
Naya menyodorkan sebotol susu formula yang tinggal separuh. "Kebetulan Ammar mimik gak habis."
"..."
Yudis masuk ke dalam kamar kosnya. Beberapa saat ia berdiri mengamati sebuah ruang yang penuh berisi barang- barang rumah tangga. Satu lemari besar, dan satu tempat tidur.
Naya berjongkok di pojok, merebus air dengan teko listrik. Ia hendak mengisi termos bayi dan membuat wedang teh. Ammar kecil berbaring di atas ranjang. Matanya masih terbuka.
Kanaya Amalia, seorang perempuan yang sempat bekerja sebagai teller bank BUMN di Surabaya. Perempuan yang sebenarnya bisa mendapat laki- laki yang jauh lebih mampu darinya.
Jujur saja Yudis selalu merasa bersalah saat melihat kondisi mereka saat ini. Ia tak tega melihat istrinya sehari- hari harus merawat bayinya di ruangan seukuran ini.
Tiba- tiba ponselnya kembali berbunyi, membuyarkan lamunan Yudis.
Nomor tak di kenal yang tadi. Kali ini Yudis menekan tombol hijau.
"Halo?"
"Halo? Mas Yudis?" tanya seseorang di seberang pesawat telpon. "Ini Suroso, Mas!"
"Roso!?" wajah Yudis berubah cerah begitu tahu siapa yang menelpon nya. "Ada apa malem- malem telpon Ros?"
"Anu, Bu Retno! Bu Retnon lagi ada di puskesmas!" sahut Suroso. "Tadi sore jatuh di kamar mandi Mas. Pingsan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
PITUNG DINO [complete]
Horror[Horor - umum] Story #2 Mendengar kabar bahwa terjadi sesuatu pada ibunya di desa, Yudis mengajak Kanaya, sang istri dan bayinya yang baru berusia tiga bulan untuk pulang ke kampung halamannya. Beberapa hari kemudian ibunya justru meninggal dunia. S...