8.Pandan

6.9K 641 23
                                    

Fajar yang cerah menyambut desa Pekopenan hari itu. Sinarnya menyeruak di antara pepohonan kebun, membentuk garis- garis cahaya indah. Butiran embun yang masih menempel di dedaunan berkilau seperti mutiara.

Yudis terlihat duduk berdua bersama Roso di rumah belakang, tempat Roso tinggal. Sejak tadi mereka sudah berbincang, mengejar ketertinggalan segala kabar antara keduanya.

"Pagi Mas Roso," Naya berjalan mendekat ke arah mereka. Ia membawa nampan berisi mug kopi panas dan sepiring ketela goreng.

"Ah, pas sekali pagi- pagi gini," ujar Yudis bersemangat. Ia nampaknya sudah lumayan bisa menerima kepergian Bu Retno.

"Enak juga ternyata pagi- pagi dibikinin ginian," Roso mengisap kreteknya dalam. Ia mengamati Naya yang tengah menata gelas dan lainnya di meja. "Kayaknya aku kudu cepet- cepet nikah juga nih."

Yudis melempar satu gorengan ke mulutnya, yang mana langsung membuat mulutnya serasa terbakar. "Asu, Panas!!"

"Gebleg," Naya menatap suaminya remeh.

"Roso-" Yudis berusaha bicara sambil mengunyah gorengan. "emangnya dilama- lamain nikah, samean mau cari calon yang kayak gimana sih?"

"Yang kayak.." Roso menghembus asap kretek sembari menuang kopi ke dalam gelas. "..Mbak Naya mungkin?"

"Tuh Nay, dia mau sama kamu," Yudis tertawa bersama Roso.

Naya melotot, lalu beranjak pergi.

-----

Betul Pak. Terima kasih sudah mau mengerti," Yudis mengangguk- angguk dengan ponsel menempel di telinga. Ia tengah menelpon kantor untuk ijin memperpanjang liburnya.

"Baik, tapi pastikan bahwa semuanya selesai. Kami di sini kekurangan orang."

"Siap Pak! Terima kasih," ujar Yudis sebelum mengakhiri panggilan. Ia berdecak memandangi layar ponsel. Ia senang, bahwa ia masih bisa berada di rumah untuk beberapa hari lagi, untuk mengurus administrasi ibunya. Namun juga sebal karena pekerjaannya bertambah dua- tiga kali lipat.

"Kenapa?" tanya Naya saat melihat raut wajah suaminya. Ia sudah hafal dengan wajah yang ditekuk itu. Tangan Naya tengah mengolesi minyak telon dan bedak di badan Ammar yang baru saja mandi.

"Nggak apa," jawab Yudis malas. Ia memandangi Ammar yang terbaring di ranjang. Bayi itu tersenyum melihat Yudis.
"Udah sore banget ini. Apa nggak masak untuk acara pengajian nanti?"

"Udah selesai dari pagi kok. Nanti ibu- ibu dateng tinggal nata di piring terus kasih kuah, " Naya mengangkat Ammar dari ranjang, dan menyerahkannya ke Yudis.
"Nitip Ammar ya. Aku mau mandi dulu."

"Hmm," Yudis menciumi bayinya yang sudah wangi. Ia membawa Ammar ke teras depan. Menikmati hangat matahari sore dan udara segar pekarangan yang penuh tanaman.

Suara kerikil terdengar saat mobil carry yang dikendarai Roso tiba di pekarangan besar. Mobil itu melaju melewati pohon rambutan, dan berhenti di dekat rumah belakang.

"Loh, si kecil kok sama ayah?" Roso keluar dari mobil. Ia melepas topi rimbanya, mengipas- ngipas mencoba mendinginkan diri. Terlihat keringat membanjiri dahi dan badannya.

"Iya, ibu nya mau mandi," jawab Yudis singkat. Tangannya menggendong Ammar yang menguap lebar. "Mampir dulu ngopi?"

"Tadi di kebun sudah, sama yang lain," Roso menolak halus. Ia mengibas- ngibas bajunya yang menempel. "Aku tak istirhat dulu Mas. Tadi lagi banyak kerjaan. Nanti malem yasinan lagi toh?"

Yudis hanya mengangguk, memperhatikan Roso yang berjalan masuk rumah. Sejenak ia membayangkan, mungkin lebih nyaman berkeja mengurus kebun seperti Roso.

Untuk Yudis, ini bukan masalah uang.

-----

Naya mengalungkan handuk di leher, dan berjalan menuju kamar mandi.

Kamar mandi di rumah ini tidak berada di dalam, tapi berada di belakang tembok dapur. Jadi untuk ke sana, harus keluar dari pintu belakang.

Bangunan kamar mandi tepat berada di dekat pintu belakang. Di sebelahnya ada sumur yang biasa digunakan untuk tempat mencuci baju. Di sisi lainnya lagi ada pohon mangga besar yang membuat kamar mandi menjadi terasa teduh.

Naya mendorong pintu yang terbuat dari kayu dan seng yang sudah tua, lalu berjalan masuk. Beberapa bagian tembok kamar mandi nampak kusam dan berlumut.

Setengah bersenandung, Naya melolosi satu persatu kancing daster nya dan menggantungkannya di cantelan tembok.

Ia melepas ikatan rambutnya, membiarkan rambut panjang sebahu itu terurai. Lalu dicelupkan tangannya ke dalam bak mandi yang berisi air sumur itu.

"Dingin," gumam Naya singkat.

Ia mengambil segayung penuh air, dan pelan- pelan mengguyurkannya di atas kepala. Suara gemericik air yang beradu dengan lantai semen memenuhi kamar mandi.

Naya sedikit berjengat ketika air membasahi punggungnya. Dingin sekali. Namun terasa begitu segar, sangat jauh berbeda dengan air di kost nya di Surabaya.

Naya mengguyur badannya beberapa kali lagi untuk membiasakan diri dengan dinginnya air.

Tanpa Naya sadari, sepasang mata dengan niat jahat tengah mengamatinya dari tadi. Mata yang mengamati setiap gerak gerik Naya di kamar mandi. Mata yang memandang lekat setiap aliran air yang mengikuti lekuk tubuh Naya.

Naya mengambil sabun batang yang berada di atas tepian bak air. Lalu ia mulai menggosokkan sabun itu ke badannya. Aroma buah samar- samar menyeruak ketika sabun itu dipakai.

Naya memejamkan matanya, tersenyum menghirup dalam wangi sabun yang membuatnya rileks.

Lalu sejenak ia mematung. Sebab perlahan wangi sabunnya berubah, bukan wangi buah- atau bunga.

Naya berpikir sejenak, sebab wangi menusuk ini sangat dikenalnya. Wangi yang rasanya baru- baru ini ia cium.

Wangi pandan.

Wangi pandan yang sama, saat ia membuat ronce bunga keranda jenazah mertuanya kemarin.

Seketika sekelebat ingatan tentang raut wajah melotot jenazah ibu mertuanya kembali muncul dalam benaknya.

Naya mencoba untuk tidak peduli, dan kembali menyiramkan air untuk membilas bersih busa sabun yang menempel di badannya.

"Hhhhh..."

Sebuah desahan lirih terdengar tepat di telinganya.

Seketika seluruh tubuh Naya seperti meremang. Bukan karena dinginnya air. Namun karena suasana yang ia rasakan di dalam kamar mandi.

Naya melempar gayung ke bak, dan menyambar handuk di cantelan tembok. Cepat- cepat ia membalut dirinya dengan handuk, tak peduli dengan air yang masih menetes deras dari rambut dan tubuhnya.

Ia bergegas keluar dan setengah berlari ke kamar.

Naya merasakannya lagi.

Perasaan seperti di awasi, seakan menunjukkan bahwa ia tak sendiri.

PITUNG DINO [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang