"Kamu punya kakak, kan?"Naura yang baru saja kembali dari lantai bawah untuk mengambil setoples kue kering menengok. Hari sudah hampir sore dan mereka berdua sudah sejak tadi mengobrol dengan banyak bahasan. Namanya juga cewek, mau di zaman apapun pasti hobinya ngerumpi. Tapi tentu saja sensasinya kali ini beda. Rena memang sering ngobrol sama bunda tapi buat ngobrol sampai julid ini pertama kalinya.
"Iya, kan pernah ketemu waktu di warung buku."
Iya, tapi kok bunda nggak pernah cerita sama aku?
Tentu saja itu cuma ada di benak Rena. Satu hal yang dia dapat begitu memasuki rumah ini dan memperhatikannya secara keseluruhan. Bunda adalah seorang anak dari keluarga normal yang bahagia dan saling menyayangi. Harusnya Rena fokus pada bunda yang ternyata memiliki kehidupan yang menyenangkan di masa mudanya, tapi dia tidak bisa mencegah pikiran kalau dirinya adalah penghancur kehidupan membahagiakan bunda.
Rena tidak bisa berhenti menatap sebuah pigura kecil yang ada di meja belajar Naura. Ada empat orang di sana dan mereka semua menatap ke arah kamera dengan bahagia. Tidak butuh waktu lama bagi Naura untuk menyadari kalau kesedihan sudah mendominasi wajah Rena.
"Gue salah ngomong, ya?"
Cepat-cepat Rena segera menyadari dimana dirinya sekarang. Nggak, dia nggak boleh kayak gini.
"Nggak, kok. Cuma tadi kepikiran keluarga aku."
Naura terlihat semangat mendengar kata keluarganya. Perempuan itu menyusul Rena yang terduduk di kasur dan menyodorkan toples berisi kue kering padanya setelah dibuka terlebih dulu.
"Kalau gitu cerita, dong. Kalau dipikir-pikir tadi yang kebanyakan cerita gue. Gantian."
"Kayaknya ceritaku nggak bakal seluar biasa punya kamu."
"Kenapa? Pada dasarnya nggak ada cerita yang terlalu biasa untuk didengarkan. Gue bersedia mendengar cerita apapun dari lo."
Rena menatap dengan tidak yakin. "Beneran?"
"Apa gue kelihatan kayak orang yang berbohong."
"Nggak, tapi—" tapi aku nggak mau lihat bunda sedih karena dengar ceritaku.
"Kalau gitu mulai, dong. Lo punya saudara?"
"Nggak, aku anak tunggal dan cuma tinggal sama bunda aku."
Mulai dari sini wajah Naura perlahan berubah. Ada wajah simpati yang muncul dari sana yang malah membuat Rena ingin menangis.
"Bunda sama ayah lo—sorry, gue nggak tahu kalau cerita lo bakalan kayak gini. Gue—minta maaf."
Rena langsung menggeleng, menolak apapun yang tergambar di kepala Naura. Apapun itu Rena yakin apa yang dipikirkan Naura sama sekali nggak benar. Lucu, tapi sekaligus bikin hati Rena sakit sampai rasanya kalau bisa dia mau lari dari hadapan bunda saat ini juga.
"Aku bahkan nggak pernah lihat gimana wajah ayahku."
Dan setelah mendengar itu wajah Naura sepenuhnya berubah. Gadis itu mengambil lagi toples yang ada di pelukan Rena dan meletakkannya di kaki ranjang. Tangannya beralih menggenggam kedua tangan Rena dengan wajah yang seakan-akan bisa kapan saja menangis. Plis, kalau kayak gini bagaimana caranya Rena bertahan lebih lama di hadapan bunda yang sedih karena ceritanya sendiri.
"Oke, kita bahas yang lain. Gue janji nggak akan bahas hal ini lagi. Oke?"
Sayangnya Rena sudah terlanjur menceburkan diri di danau yang penuh dengan kesedihan. Dia menatap mata Naura dengan mata berkaca-kaca lalu balas menggenggam tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
PEMBATAS SENJA
Fantasy[SELESAI] Selalu ada suatu rahasia bahkan di balik hal yang paling sederhana sekalipun. Ya, setidaknya itu yang Rena dapatkan setelah dia menemukan rahasia di balik langit senja yang membawanya pada sebuah kejaiban yang terlalu hebat untuk bisa dise...