[SELESAI]
Selalu ada suatu rahasia bahkan di balik hal yang paling sederhana sekalipun. Ya, setidaknya itu yang Rena dapatkan setelah dia menemukan rahasia di balik langit senja yang membawanya pada sebuah kejaiban yang terlalu hebat untuk bisa dise...
Sejak Draco mengatakan waktu Rena sebagai penghuni rumah Gomet tidak banyak, gadis itu benar-benar tidak bisa berpikir dengan benar. Lalu seakan mau menambah beban pikiran, bunda jadi jarang bisa ditemui karena ada ujian nasional. Beberapa hari Rena habiskan di rumah Gomet layaknya remaja yang lagi liburan sekolah tapi nggak kemana-mana. Hambar banget rasanya dan untungnya hari ini Rena bisa mulai menemui bundanya.
Rena memutuskan untuk mengubah haluannya dengan menyelidiki bunda secara langsung. Dengan begitu akan menghemat banyak waktu dan kemungkinan keakuratannya juga lebih baik dari pada harus mengikuti seorang cowok hanya berdasarkan prasangka aja.
“Naura, boleh tanya nggak?”
“Tanya apa?”
Naura yang sejak tadi sibuk dengan sulamannya mendongak dan mengangkat kedua alis. Sesaat kain sulaman bunda mengambil alih perhatian Rena, mengingatkan bagaimana bahkan di masa depan bunda masih suka melakukan hal yang sama.
“Soal … cowok.”
Tadinya Naura hendak melanjutkan kegiatan menyulamnya tapi pertanyaan Rena yang nggak biasa benar-benar mengambil fokusnya. Naura tadi berniat untuk membalas pertanyaan itu sambil meneruskan kegiatan, tapi sepertinya dia tidak akan bisa. Tak lama Naura memutuskan untuk menaruh kain yang disulam di pangkuan.
“Kenapa lo mendadak tanya begitu?”
“Tanya aja … nggak boleh?”
“Nggak apa-apa sih, tapi kalau diinget lagi obrolan kita nggak pernah berputar ke cowok. Gue juga nggak pernah ngerumpiin tentang cowok karena bikin gue malu sendiri.”
Waw, sungguh sangat impresif sekali fakta yang baru saja Rena dapatkan. Bukan apa-apa sebenarnya tapi Rena sering bercerita pada bunda tentang bagaimana tampannya boyband idolanya yang berasal dari negeri seberang. Diam-diam Rena jadi penasaran gimana reaksi bunda sebenarnya ketika dia melakukan itu.
“Nggak usah malu. Lagian kan ini aku.”
“Iya, sih.”
“Jadi boleh, kan?”
Dengan ragu Naura mengangguk.
“Kamu … lagi dekat nggak sama cowok?”
Rena nggak tahu apa yang salah dengan ucapannya tapi wajah bunda kelihatan kaget banget. Apa Rena terlalu terang-terangan, ya? Lagian Rena juga tidak menyangka sebenarnya kalau bunda ternyata semalu-malu ini kalau bicara soal cowok. Masa gini doang langsung keselek.
“Aku tanyanya salah, ya?”
Naura langsung mengangguk dengan cepat tapi wajahnya masih terlihat ngeri sisa efek pertanyaannya tadi. “Gue nggak biasa ngobrol pribadi banget sama orang, jadinya gue agak malu.”
“Nggak apa, wajar kok. Tapi sekarang kamu bisa cerita semuuuuaaa tentang apapun ke aku. Oke?”
Bundanya langsung memberikan respon sebuah senyuman padanya. Sebelum menjawab pertanyaannya Naura yang sejak tadi duduk di kursi belajar menatap ke arah pintu kamarnya sendiri.
Rena tidak tahu apa fungsi dari mengunci pintu saat orang bisa saja menguping, tapi dia hanya menanggapi dengan anggukan.
“Dekat sama cowok yang lo maksud itu yang kayak gimana?”
Karena tidak ada waktu lagi untuk menyelesaikan urusannya entah bagaimana otak Rena sudah mampet kalau diajak basa-basi. Gadis itu memutuskan untuk langsung ke inti masalah walau kemungkinan besar nanti Naura akan menganggapnya terlalu bar-bar.
“Yang berpotensi bisa jadi pacar.”
“Ng… kayaknya nggak ada.”
Rena langsung memberikan wajah skeptis. Kalau dipikir baik-baik rasanya tidak mungkin karena walau tidak pernah mengatakan secara langsung, diam-diam Rena menyadari kalau beberapa kali bunda pernah bercerita tentang ‘teman bunda waktu sma’. Walau tidak menyebutkan gender tapi Rena tahu secara tidak langsung bunda mengatakan kalau temannya itu cowok. Ya kali bunda nyebut cewek dengan kata gentleman.
“Beneran?”
“Bener. Kok wajah lo kayak nggak percaya gitu?”
Rena benar-benar ingin mengucapkan ulang soal bunda yang menceritakan ‘teman sma-nya’ tapi tentu saja itu akan berbahaya. Hal yang pasti terjadi Rena akan dianggap aneh dan sok tahu. Lebih parahnya kalau Naura seteliti Candra mungkin akan timbul banyak asumsi tidak terduga yang membahayakan misinya atau bahkan keberadaan rumah Gomet. Memang sih Draco tidak mengatakan keberadaan rumah Gomet harus disembunyikan, tapi dari keberadaannya yang ghaib Rena jadi merasa begitu.
Rena benar-benar ingin mengiyakan pertanyaan Naura, tapi akhirnya memutuskan untuk tidak memaksa. Rena akan menanyakan lagi lain waktu sambil memperhatikan siapa saja cowok yang lagi dekat sama bunda selain Gian. Siapa tahu saja kan Naura bisa bertemu dengan ‘teman sma bunda’ yang punya senyum manis dan wajah hangat.
°°°°•••••°°°°
“Bunda.”
“Hm? Apa sayang?”
Dengan manja Rena berjalan ke arah bunda yang sedang duduk di sofa sambil menyulam. Hari sudah malam dan gadis itu juga sudah memakai piyama, namun kantuk tidak juga datang. Karena besok masih hari minggu jadi alih-alih membiarkan dirinya menatap langit-langit kamar sendirian, lebih baik Rena menghampiri bunda yang ada di ruang tamu.
“Nggak bisa tidur?”
“He-em,” ujar Rena sambil memeluk bunda dan menyandarkan kepalanya pada bahu orang tersayangnya itu.
“Mau bunda bikinin susu hangat?”
“Aku bisa bikin sendiri nanti, Bun.”
“Terus maunya apa? Tidur sama bunda? Mau dikelonin?”
Hal yang tidak pernah berubah dari bunda adalah wanita itu yang selalu terlalu menyayangi Rena seperti ini. Orang-orang memang bilang itu wajar dilakukan oleh orangtua, tapi apa itu masih wajar ketika demi dirinya bunda harus kehilangan banyak hal termasuk keluarganya. Hanya untuk mempertahankan dirinya.
“Nggak mau. Gimana kalau Bunda cerita sesuatu?”
“Memangnya mau cerita apa?”
“Cerita apa aja yang nanti bikin aku ngantuk.”
“Ngebosenin dong ceritanya.”
Rena meringis tapi seperti biasa bunda tidak akan pernah bisa menolak dirinya. Sebelum sesi cerita dimulai bunda meletakkan lebih dulu kain yang sudah disulam di atas meja dan menuntun Rena untuk merebahkan tubuh di sofa dengan kepala yang berbantalkan paha bunda. Tangan wanita itu mulai mengelus kepala Rena yang membuatnya memejamkan mata untuk sesaat.
Rena suka saat seperti ini, karena dia jadi bisa benar-benar merasakan kalau bunda sayang padanya.
“Mau cerita apa?”
Rena membuka mata lalu mendongak untuk mendapati wajah cantik bunda. “Gimana kalau cerita zaman sekolah bunda dulu. Bosen kalau cerita soal teman kerja bunda yang ngeselin itu.”
Wanita itu tertawa sebentar lalu berpikir sebentar. Mungkin memilih kenangan mana yang harus diceritakannya, namun tidak lama bunda kelihatan sudah menemukan sesuatu yang akan diceritakan padanya.
“Bunda pernah punya teman.”
“Teman yang kayak apa?”
“Teman yang baik dan mungkin agak … mengejutkan?”
Ada nada ragu yang terselip di suara bunda yang langsung menarik perhatian Rena.
“Bunda kok ragu gitu ngomong mengejutkannya?”
“Mungkin karena dia memang semengejutkan itu.”
“Cowok atau cewek?”
“Kalau untuk yang itu rahasia.”
“Ganteng?”
“Rahasia, Rena.”
Bunda tertawa mendengar ucapannya tapi terlihat maklum. Tentu saja, pembicaraan tentang cowok antara bunda dan dirinya sudah menjadi hal biasa, walau objeknya adalah cowok yang sulit digapai macam oppa-oppa idolanya.
“Kalau menurut teman-teman bunda gimana?”
Bunda terlihat menyerah dan akhirnya membalas. “Kalau kata teman-teman bunda sih ganteng.”
“Kalau menurut Bunda?”
“Ganteng, tapi bunda nggak pernah benar-benar fokus ke poin yang itu. Ada hal yang lebih spesial dari orang ini yang menurut bunda lebih menarik.”
Rena mengambil salah satu tangan bunda dan memainkan jari-jari dan kukunya. Wanita itu membiarkan sambil satu tangan lainnya terus mengelus kepalanya dengan sayang. Televisi di ruang tamu masih menyala namun keberadaannya benar-benar terabaikan.
“Hal yang menurut bunda mengejutkan?”
“Iya. Selain ganteng ada banyak hal yang membuat bunda nggak pernah benar-benar bisa lupa sama dia. Kebiasaannya, cara bicaranya, dan bahkan pemikirannya yang kadang bikin bunda nggak menyangka kalau itu dia yang ngomong.”
Bunda mengatakan kalimat sepanjang itu dengan senyum yang sangat merekah di wajahnya. Rena senang melihat wajah bunda yang seperti itu, namun entah dari mana sebuah pemikiran gila mendadak muncul di kepalanya. Melalui pemikiran gila dimana sebuah kata yang sudah Rena labeli sebagai kata terlarang muncul dan tanpa alasan yang jelas membuat dadanya nyeri.
“Bunda, boleh aku tanya sesuatu tentang teman bunda itu?”
Bunda yang sejak tadi menatap ke depan langsung menunduk dan menatap tepat ke arah matanya. Tidak ada kesedihan sedikitpun di mata bunda yang tadinya Rena kira akan ditemukannya.
“Tanya apa?”
Ada keraguan besar yang berkumpul di dada. Rena penasaran tapi di saat yang sama takut kalau ini akan menyakiti bunda. Tapi … tidak ada salahnya kan kalau ini dicoba? Bunda sedang tersenyum di hadapan Rena saat ini jadi kemungkinan besar bunda tidak akan marah.
“Apa teman bunda itu … ayah?”
Ketenangan yang sejak tadi bunda tunjukkan goyah walau hanya sesaat. Wanita itu terlihat sangat terkejut dengan tebakan Rena dan samar matanya bisa melihat ada penyesalan di sana, namun tidak lama bunda tersenyum lagi. Wanita itu untuk sesaat mengangkat kepala dan menatap ke arah langit-langit lalu kembali menunduk menatap Rena.
“Kelihatan banget ya bunda ceritanya?”
“Bunda, aku nggak maksud—”
“Nggak ada yang salah, Sayang. Kamu juga berhak tahu seperti apa ayah kamu walau nggak bisa bertemu. Maaf.”
Rasa bersalah yang tadinya samar kini semakin nyata muncul di dada Rena. Diam-diam dia menggenggam salah satu telapak tangannya lalu dengan gerakan pelan mengubah posisinya dan memeluk bunda.
“Aku tahu aku berhak, tapi selama ada bunda di sini yang selalu ada dan sayang sama aku, itu semua sudah lebih dari cukup. Aku nggak butuh siapapun selain bunda.”
Bunda tadinya mau membalas ucapannya, namun bibirnya yang bergetar mencegahnya. Jika bunda nekat membuka mulut untuk bicara maka suaranya yang bergetar akan terdengar dan kemungkinan lebih jauh bunda akan menangis. Bunda memang tidak pernah benar-benar mengatakannya pada Rena, namun dia tahu kalau bunda selamanya tidak ingin membuatnya sedih.
“Dek, ini kembaliannya.”
Bahu Rena tersentak saat seorang wanita paruh baya menyodorkan uang kembalian. Matanya mengerjap sesaat lalu dengan canggung meraih uang kembalian dan mengucapkan terimakasih. Setelahnya Rena buru-buru keluar dari warung dengan es kantong dan sebungkus kecil mendoan yang masih hangat.
Kakinya melangkah dengan pelan di trotoar sambil menikmati mendoannya. Tak tahu kenapa, tapi sejak berada di sini Rena jadi suka makan gorengan. Kalau saja ini di zamannya sudah pasti bunda akan mengomel kalau makan gorengan terlalu sering tidak baik. Di sini juga ada bunda, tapi bunda sama sekali tidak tahu kalau dia anaknya.
Setelah pulang dari rumah Naura, Rena benar-benar tidak punya tujuan lagi. Bisa saja sih main ke rumah Candra, tapi Rena masih takut kalau cowok itu curiga tentang banyak hal yang bisa saja membahayakan posisinya. Soal obrolannya dengan bunda yang tidak menghasilkan apa-apa, itu benar-benar masih membuat Rena kesal.
Sebenarnya Rena sudah bisa membaca kalau bunda sedang menyukai seseorang namun terlalu malu mengakui. Mau Rena tadi langsung menembakkan nama itu, tapi takut nanti kesannya kurang ajar gitu. Walau masih muda begitu, Naura tetap bunda yang Rena hormati dan sayangi.
Bunda menyukai Gian dan sepertinya perasaan itu berbalik, tapi apa hanya dengan begitu Rena bisa memutuskan kalau cowok itu adalah ayahnya?
Entahlah, Rena ingin cepat mengambil sebuah keputusan supaya bisa melakukan tindakan lebih jauh, tapi keraguan masih membayangi dirinya.
“Lah, Rena. Lo mau ke mana?”
Tidak banyak yang tahu namanya di zaman ini, jadi saat ada yang memanggil otomatis Rena memutuskan untuk berhenti. Gadis itu menoleh ke samping dan mendapati Gian yang baru saja dari seberang dan berjalan ke arahnya. Semuanya baik-baik saja hingga tidak lama Rena mendapati Candra muncul di balik bahu Gian.
Anjir, kok ada dia?!
Niat Rena yang tadi mau membiarkan Gian menghampirinya musnah begitu saja dan membuatnya ingin kabur. Sayang, keputusan Rena itu sudah terlalu terlambat karena Gian sudah sampai di sini dan tidak lama setelahnya Candra juga menyusul.
Oke, abaikan Candra dan fokus ke Gian saja maka kamu akan selamat.
Rena menanamkan kata-kata itu dalam otaknya dan langsung tersenyum ke arah Gian. Yang tidak gadis itu perhatikan adalah bagaimana sejak awal Candra yang memandangnya dengan penasaran. Cowok itu menyadari sikap aneh Rena namun memutuskan untuk diam dan memperhatikan. Lagi pula urusannya dengan Gian sudah selesai dan dia juga mau pulang.
“Gue tadi habis beli gorengan sama es teh. Lo sendiri dari mana?”
Gian menoleh sekilas pada Candra lalu kembali pada Rena. “Oh, tadi gue minta tolong Candra buat minjemin gitar ke kakak sepupunya. Gitar gue lagi rusak dan belum dibenerin.”
“Ah … emangnya ada apa kok lo butuh gitar banget kayaknya?”
Misi diam-diam Rena untuk mengabaikan Candra sepertinya berhasil karena cowok itu menunjukkan tanda-tanda mau meninggalkan mereka berdua. Bagus, dengan begitu Rena bisa tidur dengan nyenyak tanpa dibuat dag-dig-dug malam ini.
“Dua hari lagi ulang tahun Naura, gue udah janji buat ngasih dia hadiah sebuah lagu dan gue butuh gitar buat nyanyi.”
Rena ingat dengan ulang tahun bundanya dan sudah mempersiapkan hadiah. Bukan sesuatu yang mahal karena itu cuma sebuah surat dan sebuah gambar bunda yang sudah Rena kerjakan minggu lalu. Namun mendengar apa yang Gian katakan barusan sukses membuat hatinya meleleh dan baper.
Ternyata cowok kayak gini tuh ada di dunia nyata, ya? Rena kira cuma di sinetron, drakor, atau film doang.
“Gue juga udah nyiapain hadiah buat Naura.”
“Beneran?”
Rena mengangguk dengan semangat dan obrolan mereka berlanjut selama beberapa saat hingga akhirnya Candra buka suara. Gadis itu bahkan sempat lupa keberadaan cowok itu dan baru mengingat keberadaan Candra ketika maju satu langkah dan mensejajarkan dirinya dengan Gian. Lah, bukannya Candra tadi mau pulang?
“Ren, lo mau pulang kan, ya? Gue bareng, ya?”
“Oh, rumah kalian satu arah?”
Rena hendak buru-buru menjawab dengan penolakan namun ternyata Candra lebih dulu membalas.
“Iya, lo bisa kan pulang sendiri?”
Ada nada mengejek yang Candra tujukan pada temannya itu yang sayangnya Gian balas dengan tawa ringan. Rena bisa merasakan hawa persaingan keduanya hingga demi memecahkan suasana itu Rena akhirnya ikut-ikutan tertawa walau nggak sepenuhnya mengerti benar maksud dan tujuannya.
“Kalau gitu gue dan Rena pulang duluan.”
“Dah…. Rena.”
Gian melambaikan tangannya dengan manis hingga kalau saja tidak ingat ada Candra kemungkinan besar Rena akan meleyot di sini. Tidak lama cowok itu membalik badan dan meninggalkan mereka berdua. Hari belum cukup sore dan bikin Rena cukup untuk membuat alasan agar bisa kabur dari hadapan Candra. Untuk sementara ini dengan tangan yang menggenggam tali tas selempang Rena dan Candra berjalan beriringan dengan sangat pelan.
Rena sengaja melakukannya, berharap kalau Candra tidak akan tahan dan meninggalkannya begitu saja. Sayangnya entah sejak kapan Candra memiliki stok kesabaran yang cukup banyak hingga terus berjalan menyamakan langkah tanpa bicara sekalipun. Rencananya jelas gagal karena yang ada Rena yang jadi tidak tahan dan berhenti melangkah dengan wajah kesal.
“Mau lo apa, sih?”
Candra langsung menyampingkan wajah dan menatap dengan wajah tertarik bersamaan dengan sebelah alis yang terangkat. Ganteng, dan sesaat bikin Rena lupa kalau Candra memiliki kemungkinan menjadi ayahnya.
“Kenapa lihatnya gitu banget?”
Tidak tahu kenapa tapi Candra tidak kunjung membalas ucapan Rena. Cowok itu tetap menatapnya dengan tertarik—namun bukan dalam konteks lawan jenis—seakan Rena adalah seorang narapidana yang berhak diinterogasi. Kesal, dengan kekuatan penuh Rena menginjak ujung sepatu cowok itu sampai mengaduh kesakitan.
“Akh! Gila lo, ya! Sini! Gue bales lo!”
Tangan Candra hendak meraihnya namun Rena bertindak lebih gesit dengan lebih dulu berlari. Sayangnya karena memang dasarnya Rena adalah golongan orang berkaki pendek Candra dengan cepat bisa meraih ujung hoodie abu-abunya sampai bikin gadis itu kecekek. Otomatis tangan Rena langsung melonggarkan bagian depan hoodienya. Sangat nggak lucu kalau Rena mati gara-gara kecekek *hoodie* sendiri.
“Heh! Lepas!”
“Udah gue duga. Mau kabur kan lo?”
“Lepas nggak atau gue teriak lo mau jahatin gue! Gue ngancemnya serius lo ya!!”
Bukannya takut seperti yang diharapkan Candra malah semakin menarik hoodienya hingga jarak mereka semakin dekat. Cowok itu mendekatkan mulut pada telinganya dan membisikkan kata-kata serupa bisikan setan jahannam.
“Coba aja kalau lo berani.”
“Oke, siapa takut.”
Rena bersiap membuka mulutnya untuk mengancam dengan harapan Candra akan segera melepaskannya, namun kenyataannya tidak begitu. Wajah cowok itu terlalu santai untuk dilabeli orang yang sedang diancam. Rena menghentakkan kakinya kesal melihat reaksi itu lalu membalik badannya tidak peduli kalau tangan Candra masih menggenggam kuat leher hoodienya.
“Apa mau lo?! Cepetan!”
“Sebelumnya, janji kalau lo nggak bakalan kabur dari gue kayak sore itu.”
“Dih, emang kapan gue pernah kabur—”
“Lo pikir gue nggak sadar cowok yang sengaja jatuhin lemonnya itu ngapain? Jangan banyak alasan dan cepetan janji.”
Walau menunjukkan wajah tidak terpengaruh namun jauh di dalam dirinya saat ini Rena sedang takut setengah mati. Genggaman pada tali tasnya yang ada di depan tubuh semakin menguat seiring dengan tatapan mata Candra yang semakin intens.
“Oke, gue janji nggak bakalan kabur.”
“Kalau gitu janji, kalau lo kabur nanti malam lo bakalan didatengi kelabang raksasa pas tidur!”
Walau tahu kalau itu tidak mungkin terjadi tapi tetap saja Rena takut. Rena tidak pernah tahu apa saja yang bisa terjadi di rumah Gomet karena tempat itu adalah salah satu tempat paling magis yang pernah didatanginya.
“Enak aja!”
“Ya makanya janji dulu kalau lo nggak bakalan kabur.”
Rena berdecak kesal, tapi dia sama sekali tidak melihat kesempatan untuk kabur. Mana belum ada tanda-tanda Draco datang untuk membantunya. Haduh … ini nasibnya gimana coba?
“Oke, gue janji.”
Karena tidak ada alasan buat kabur dengan sangat terpaksa Rena mengiyakan permintaan itu. Candra memandangnya beberapa saat untuk memastikan dengan tangan yang masih menggenggam bagian belakang leher hoodienya. Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya dengan keraguan cowok itu melepaskan genggamannya. Tangan Candra kemudian beralih pada kantung celana dan mengeluarkan scrunchie miliknya.
Dia mengulurkan benda itu padanya. “Punya lo.”
Harusnya pertanyaan itu diakhiri dengan tanda tanya, bukannya keyakinan yang tak terbantahkan sampai membuat Rena bingung harus membalas bagaimana. Menyerah, Rena mengambil scrunchie itu dan meletakkannya di tas bersama dengan buku diary dan sebuah bolpoin.
“Makasih.”
“Cuma itu doang?”
“Ya terus lo maunya apa?”
“Ck, jelasin lah kenapa scrunchie itu sampai bisa masuk ke kamar gue di saat lo sama sekali nggak pernah masuk ke kamar gue.”
“Waktu itu nggak sengaja kebawa sama lo. Lo pasti lupa, kan?”
Sebisa mungkin Rena membuat kebohongannya tampak meyakinkan. Rena bahkan sedikit mengeraskan suara dan mengubahnya menjadi setegas yang dia bisa.
“Gue bukan orang pelupa dan—plis, lo bukan orang yang pinter bohong. Ketahuan banget.”
Anjrot! Kok ada sih orang yang kayak begini?!
“Sekarang jawab pertanyaan gue. Siapa dan orang macam apa lo? Jelaskan ke gue kenapa lo bisa diam-diam masuk ke rumah gue tanpa terlihat sedikitpun dan ninggalin scrunchie ini.”
Kalau usia Rena sudah di atas lima puluh tahun kemungkinan besar dia akan langsung kena serangan jantung dadakan dan pingsan. Bagaimana bisa Candra menebak semua yang dilakukannya sedetail ini?!
Kayaknya untuk kali ini Draco pun nggak akan bisa menolong.
°°°°•••••°°°°
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.