|| 27 || Magic

7 4 0
                                        


Walau Rena bilang tidak ada cara bagi Candra untuk mengantar gadis itu pergi, tapi bagaimanapun dia akan mendapatkan cara itu. Candra masih duduk di bangku halte meski Rena baru saja meninggalkannya setelah bilang sudah waktunya kembali. Gadis itu sempat menangis di pelukannya lalu dengan terpaksa membalik tubuh untuk berjalan menjauh.

Kepala Candra tersentak ke arah dimana Rena menghilang dan memandang jalan itu lama. Pergelangan tangannya memang sedang tidak memakai jam, tapi dari perkiraan mungkin ini sudah setengah jam, atau bahkan kurang setelah Rena pergi.

Dengan ragu Candra mengeluarkan liontin gagak yang ditemukannya di kamar dari dalam saku jaketnya. Jarinya kembali menyelidik benda itu setelah menyimpan dengan baik kertas pemberian Rena. Sekali lagi pandangannya pergi ke arah jalan yang dilalui Rena lalu sambil menggenggam benda itu Candra menelusuri jalan itu.

Memang apa yang dipikirkannya belum tentu benar, tapi Candra tidak akan tahu jawabannya kalau tidak mencoba. Liontin itu menunjukkan fungsinya ketika digenggam dengan erat, dan karenanya siapa tahu saja Candra beruntung dan menemukan tempat mustahil yang Rena maksud.

Candra terus melangkahkan kaki yang disirami dengan cahaya matahari yang perlahan menjadi jingga. Cahayanya hangat, menenangkan dan mungkin bagi sebagai orang bisa jadi sebuah bentuk kelegaan karena pada akhirnya hari yang berat telah berakhir dan mereka bisa beristirahat walau hanya sejenak.

Langkah Candra perlahan semakin cepat, namun pada suatu titik saat menemukan hal yang tidak biasa langkahnya terhenti. Dari kejauhan yang masih bisa tertangkap oleh pandangan mata ada kabut yang mengingatkannya pada kabut yang biasanya ada di daerah pegunungan saat masih subuh hingga pagi. Tempat dimana Candra tinggal saat ini begitu jauh jauh dari daratan tinggi jadi alih-alih kabut yang menyejukkan yang terjadi di sini adalah kabut polusi yang tiada henti menyelimuti udara kota.

Hal yang lebih aneh lagi kabut itu terlihat magis, membuat salah satu sisi diri Candra meneriakkan untuk berbalik dan melupakan niatnya. Namun untuk kali ini Candra tidak akan memedulikan teriakan itu dan dengan perlahan terus berjalan walau semakin lama jantungnya berdetak dengan cara yang tidak normal.

Oke, Candra ... tenang.... Semuanya akan baik-baik saja.

Candra mengucapkan mantra itu dalam benak berulang kali dengan langkah yang semakin melambat. Namun seperti musafir yang akhirnya menemukan oase di Padang pasir Candra menemukan sebuah gerbang besar berada di balik kabut itu. Perlahan langkahnya berjalan semakin mendekat hingga terhenti tepat di depan gerbang besar berwarna legam itu.

Candra bergeming, mencoba meyakinkan dirinya lantas sebelum benar-benar menyentuh gerbang itu dia mengedarkan pandangan ke belakang punggung. Lingkungan ini masih lingkungan sama yang memang berada dekat dengan sekolahnya, seperti yang Candra ingat selama ini. Hanya saja entah bagaimana lingkungan ini terlihat sangat sunyi dan sepi walau biasanya akan selalu ramai tanpa peduli pukul berapa sekarang.

Baiklah, dia siap.

Tangan Candra yang bebas terangkat dan dengan hati-hati seakan yang ada di depannya adalah gerbang paling rapuh di dunia kedua tangannya menyentuh lantas mencoba mendorong. Entah ini memang hari keberuntungan atau tidak tapi gerbang super raksasa di depannya sama sekali tidak terkunci.

Dengan gerakan yang sangat halus Candra berusaha mendorong dan tidak menimbulkan suara sama sekali. Namun mendadak Candra dibuat hampir jantungan saat gerbang di depannya mendadak bergerak dengan cepat dengan sendirinya. Gerbang super besar itu seakan tahu ada seseorang yang sedang membukanya dan berusaha membuat jalan. Dengan kikuk Candra melanjutkan langkahnya hingga tidak berapa lama dibuat takjub dengan kabut di sekitarnya yang perlahan memuai dan menunjukkan pemandangan yang disembunyikan.

PEMBATAS SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang