Pagi hari sejak ada di rumah Gomet biasanya Rena akan dengan cepat tiba di ruang makan, namun tidak untuk hari ini. Dia masih ada di dalam kamarnya dengan menggunakan piyama yang nyaman dan duduk bersila di atas kasur. Matanya menatap ke arah pintu kaca balkon yang sengaja dia buka dan memperlihatkan pemandangan berkabut yang tampak dari luar area rumah Gomet.Kalau dipikir-pikir tempat ini memang luar biasa. Namun seluar biasa apapun tempat ini, tidak ada yang menyarankan apa yang harus Rena lakukan. Bertanya jelas membuatnya tidak enak sendiri karena semua orang—atau mungkin tepatnya hantu di sini yang punya masalah yang harus dipikir sendiri-sendiri. Akan sangat nggak tahu diri sekali jika Rena benar-benar melakukan itu.
"Gue udah cukup dekat sama bunda, sekarang gue harus mengambil langkah besar buat mempercepat misi ini."
Rena berpikir sambil mengusap dagunya dengan ibu jari dan telunjuk. Kepalanya sangat fokus, menimbang apa yang harus dilakukannya.
"Gue bahkan belum dapat clue sama sekali siapa bapak gue." Rena berkata frustasi sambil menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
Matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan sedih, bingung, frustasi, dan tertekan. Seumur hidupnya kemungkinan ini adalah kali pertama baginya mengalami perasaan sekompleks ini. Kepalanya pusing karena dipakai berpikir sejak tadi, ditambah lagi dia belum sarapan dan tidak berniat keluar kemanapun hari ini. Rena memutuskan untuk membuat strategi lebih dulu supaya yang dilakukannya lebih terencana.
"Ck, harusnya dari awal gue begini."
Detik selanjutnya Rena bangkit dari kasur dan berjalan ke arah lemari pakaian. Dia mengambil tas sekolahnya yang ditumpuk jadi satu dengan seragam sekolah. Setelahnya Rena kembali ke kasur dan mengambil sebuah buku tulis dan bolpoin, namun perhatiannya tersita dengan sebuah buku berwarna biru yang ada di dalam sana. Itu buku diary yang sudah sudah tidak lagi ditulisnya ketika ada di sini. Tangan Rena terulur kemudian membuka beberapa halaman untuk menemukan foto dirinya bersama bunda saat dia masih SMP. Wajah mereka berdua sangat bahagia sambil bunda memeluk bahunya dengan sebelah tangan.
Kemungkinan besar Rena akan menangis jika melihat foto itu lebih lama. Untungnya suara ketukan di pintu menyelamatkannya. Gadis itu menoleh untuk sesaat dan berpikir siapa yang ada di sana.
"Siapa?"
"Apa kau sedang melakukan sesuatu yang membutuhkan privasi?"
Itu suara Maxel yang entah bagaimana langsung membuat Rena kesulitan berpikir. Ucapan Januar semalam masih terbayang dan karenanya dia jadi berpikir yang nggak-nggak.
"Ti ... dak?"
Rena menjawabnya dengan tidak yakin, namun siapa sangka Maxel langsung membuka pintu. Pria—yang kemungkinan vampir itu—tidak datang sendiri melainkan dengan seorang pelayan yang wajahnya sama sekali tidak asing. Rena benar-benar hampir tersedak ludahnya sendiri saat menyadari kalau itu adalah gadis vampir yang menandatangani dokumen di depannya tempo hari.
"Ada apa?" Rena berusaha sebisa mungkin menekan kegugupannya.
"Aku dengar kau tidak keluar sejak tadi dari kamar. Kau belum sarapan jadi aku mengantarnya ke sini." Maxel beralih menatap perempuan di belakangnya. "Taruh itu di meja sana. Kemungkinan gadis ini tidak akan langsung memakannya. Setelah itu kau bisa pergi dari sini."
Vampir itu menurut dan setelah menyelesaikan urusannya dengan cepat dia keluar dari kamar. Tinggal Rena dan Maxel di sini dan itu belum cukup untuk menghilangkan kegugupan tidak beralasannya.
"Hari ini kau tidak akan kemana-mana?"
"Kemungkinan?" Rena bahkan merasa bingung dengan nada ragu yang diucapkannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
PEMBATAS SENJA
Fantasy[SELESAI] Selalu ada suatu rahasia bahkan di balik hal yang paling sederhana sekalipun. Ya, setidaknya itu yang Rena dapatkan setelah dia menemukan rahasia di balik langit senja yang membawanya pada sebuah kejaiban yang terlalu hebat untuk bisa dise...