|| 28 || Ayah

13 3 0
                                    

"Jadi lo—maksud aku Ayah—Ayah berhasil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Jadi lo—maksud aku Ayah—Ayah berhasil."

Rena tidak langsung pulang karena ayah membawanya ke sebuah tepi danau yang tampak perlahan menggelap karena matahari yang perlahan turun. Keduanya duduk di depan kap mobil dengan mata yang memandang pada genangan air yang luas.

Semuanya terasa tidak nyata. Dirinya yang datang ke rumah Gomet dan kemudian kembali di waktu dimana seharusnya berada dan menemukan Candra sebagai ayahnya dengan wajah yang jauh lebih dewasa dari pada yang terakhir kali dilihatnya.

"Wait, Ayah mau ambil sesuatu dulu."

Rena tidak merespon apapun karena Candra—atau mungkin saat ini Rena harus membiasakan diri untuk memanggil pria dewasa di hadapannya dengan sebutan ayah—sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil untuk mengambil sesuatu. Rasanya sangat aneh, tapi tidak mungkin juga Rena selamanya memanggil pria itu seakan dia adalah temannya.

Seperti apa yang terjadi sebelumnya.

Kepala Rena menyentak ke belakang dan memperhatikan ayah yang sedang mengambil sesuatu lalu mengeluarkan sebuah benda yang sangat dikenalinya. Setelah kembali ayah mengulurkan benda itu ke arahnya dengan senyum yang belum juga luntur. Rasanya hangat, menciptakan sebuah dorongan melankolis yang membuat Rena mengingat kejadian-kejadian yang telah lalu dimana dia tidak pernah merasakan hal semacam ini.

"Ini."

"Gue—ah, maaf. Maksud aku—aku kira buku ini bakalan otomatis balik ke aku."

Candra tertawa renyah memandang putrinya lalu tangannya terulur untuk merapikan anak rambut yang tertiup angin. "Nggak apa-apa. Ayah tahu kalau kamu butuh waktu buat membiasakan diri."

"I—iya, Ayah," balas Rena dengan nada super canggung dengan tangan yang menyentuh helai rambut yang tadi ayahnya sentuh.

"Jadi ... semuanya berjalan dengan baik?"

"Hm?"

"Ayah tahu apa kan yang aku maksud? Atau jangan-jangan Ayah nggak ingat dengan apa yang terjadi? Jadi Ayah nggak ingat kalau aku dan Ayah pernah ketemu di halte bus dan kenalan terus ketemu sama bunda?" Tanpa Rena sadari kata-kata itu terucap dengan begitu cepat dan buru-buru, memberi kesan gegabah yang terlalu terlihat. Tapi membayangkan bagaimana kalau kejadian yang telah terjadi terlupakan begitu saja membuat Rena kecewa.

"Hey, hey, pelan-pelan, Sayang. Ayah ingat semuanya." Buru-buru Candra menenangkan putrinya dengan menepuk lembut kedua bahunya.

Rena mendesah lega, dugaan-dugaan yang tadi menyerang kepalanya perlahan luruh dan membuatnya lega. Rena senang tidak menjadi satu-satunya yang mengingat hal magis yang—

"Sayangnya hanya ayah yang mengingat semuanya."

"Apa?"

"Bunda kamu, Gian—ah, harusnya kamu manggil dia dengan sebutan om Gian sekarang. Nggak ada di antara mereka yang ingat sama kehadiran kamu."

PEMBATAS SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang