|| 12 || Lelaki dengan Lemon

13 4 0
                                    

"Saya meninggal di usia yang masih cukup muda, beberapa bulan setelah pernikahan saya berlangsung—ada kecelakaan tidak terduga yang menjadi perantara kematian saya. Kejadian itu meninggalkan trauma besar untuk seseorang. Sampai saat ini saya benar-benar merasa sangat bersalah dan ingin minta maaf untuk seseorang itu karena sudah meninggalkan luka sebesar itu."

"Apa itu istri kamu?"

Januar mengangkat kepalanya dan berusaha tersenyum pada Rena. "Iya."

"Maaf kalau ini terlalu lancang, tapi ... kamu di sini dengan alasan itu?"

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Januar karena kepalanya langsung tersentak ke arah lain selain pada Rena. Namun di saat yang sama Rena justru mendapatkan jawaban dengan sangat jelas.

"Dia bertunangan hari ini. Sesuatu yang seharusnya menjadi tujuan utamaku tapi—" Januar tidak melanjutkan kata-katanya dan mengigit bibir bawahnya untuk sesaat. "Saya tidak menyangka kalau ini akan sangat menyakitkan."

"Aku benar-benar bodoh."

Rena tidak bisa mengatakan apapun, karena walau tidak mengalaminya secara langsung benaknya bisa membayangkan rasa sakit yang Januar alami saat ini. Dengan wajah yang berusaha Rena buat sekuat mungkin jemarinya meraih salah satu tangan lelaki itu dan menggenggamnya dengan kedua tangan berusaha untuk menguatkan.

"Dia akan segera menikah."

"Aku memang belum pernah ketemu sama dia, tapi aku yakin dia perempuan yang cantik. Saya tahu ini menyakitkan buat kamu, tapi aku harap dengan ini kamu bisa kembali dengan tenang nantinya."

Sejujurnya ada rasa sakit yang menghinggapi dada saat Rena mengucapkan kata itu sendiri. Rena memang pernah beberapa kali mengobrol atau sekedar menghabiskan waktu bersama dengan penghuni rumah Gomet lainnya, tapi Januar adalah kasus berbeda. Laki-laki itu adalah orang pertama yang mendekati Rena, berbicara secara dekat dan menjadi satu-satunya teman yang bisa dipercayai di tempat ini. Sebenarnya sih Draco juga bisa disebut teman tapi beberapa kelakuannya benar-benar membuat Rena pingin gampar bolak-balik malaikat maut itu.

"Huh.... Beratnya hidup ini...."

Rena sedang duduk di bangku besi halte sambil menggenggam sebungkus plastik berisi beberapa mendoan dan bersenandung sesuka hati dengan nada yang keluar asal-asalan. Matanya memandang ke arah jalanan dan sesekali mengikuti pergerakan mobil yang melintas hingga kemudian membiarkannya hilang dari pandangan.

"Makan satu lagi, deh."

Rena bergerak membuka kantung plastik dan memakan satu lagi mendoan yang ada di sana. Mulutnya mengunyah dengan lemas sambil memikirkan lagi dan lagi takdirnya yang berjalan terlalu luar biasa. Pada satu waktu Rena bingung, hal apa yang pernah dilakukannya sampai mendapatkan hal seperti ini. Sayangnya pemikiran lain juga datang dan Rena jadi berpikir kalau takdir ini sama sekali tidak cocok untuknya.

Bukan bermaksud tidak mensyukuri pemberian Tuhan, tapi Rena bahkan terlalu bingung untuk mengambil langkah. Rena masih hidup dan jelas nanti akan terlibat dalam hasil dari semua perbuatannya di sini, tidak seperti penghuni rumah Gomet atau bahkan Januar yang Rena tahu kisahnya secara jelas.

Mereka semua datang dari kematian untuk memperbaiki apa yang harus diperbaiki, bukan apa yang ingin mereka perbaiki yang datang dalam bentuk sebuah tanggung jawab yang harus dilaksanakan.

Rena bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana jika Rena berada di posisi mereka. Kemungkinan besar sih Rena akan menghabiskan banyak waktu di kamar setelah pergi ke luar dan bahkan jarang pergi ke ruang makan.

"Rena!"

Kantung plastik yang ada di tangan Rena hampir saja terlempar karena seruan tadi. Gadis itu baru saja mau marah-marah pada siapapun yang membuatnya hampir kehilangan beberapa potongan mendoannya ketika menemukan bunda yang berjalan ke arahnya dengan senang. Sudah jelas orang yang ada di hadapannya tidak akan pernah membuat Rena bisa marah.

PEMBATAS SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang