|| 18 || Serenita

13 4 0
                                        

Entah sudah keberapa kali Rena menghembuskan napas lelah, kesal, dan jengkel pada hari ini, namun gadis itu sama sekali tidak berniat untuk menghitungnya. Dengan wajah yang cemberut maksimal Rena menggerakkan tangan dengan sembarangan untuk menggerakkan sikat yang dipegangnya. Iya, sikat yang begitu pas berada di genggaman Rena untuk menyikat kolam air mancur super besar di halaman rumah Gomet.

Ini sama sekali bukan hal yang harus dilakukan penghuni rumah Gomet. Harusnya begitu, hingga entah bagaimana Draco mengetahui kalau Rena berbohong soal akan menemui Candra tapi ternyata tidak. Dia memang berbohong beberapa kali untuk kelancaran tujuannya dan selama ini tidak ada masalah sama sekali dengan itu. Namun, kenapa begitu Rena berbohong pada Draco malah berakhir seperti ini.

“Heh! Sikat dengan benar. Masih ada lumut yang tersisa di tembok bagian ini!”

Dengan wajah super sinis dan jengkel Rena melirik ke atas pada Draco yang berjongkok di tembok tepi kolam air mancur. Malaikat maut itu sejak tadi memperhatikan dirinya dan beberapa pegawai—paksaan—rumah Gomet yang lain membersihkan kolam. Well, sebenarnya satu-satunya yang diawasi oleh Draco di sini adalah dirinya, Rena yang malang yang entah bagaimana sejak pagi berakhir secara menyedihkan di sini.

“Nggak lihat aku lagi ngelakuin apa?”

Draco dengan sangat sengaja menurunkan kedua ujung bibirnya dengan cara yang menjengkelkan. Mengundang Rena untuk melemparkan sikat yang dipegangnya ke wajah tampan itu sekarang juga. Sayangnya Rena harus berusaha keras menahannya karena kalau tidak kemungkinan besar Draco akan mencari cara lain untuk semakin menyusahkannya.

“Sayangnya apa yang aku lihat sejak tadi adalah kau yang menyikat dengan wajah menderita seperti seorang anak tiri yang sedang siksa.”

“Iya dan lo ibu tirinya.” Rena mengucapkan itu dengan sangat lirih yang diperkirakannya Draco tidak akan mendengarnya.

Sayangnya pendengaran Draco terlalu tajam untuk tidak mendengar dengan jelas suara itu. Dengan pelan malaikat maut itu memukul kepala Rena dengan sebuah buku yang sejak tadi dipegangnya. Tidak seberapa sakit, tapi yang jelas pukulan itu bikin Rena jengkel hingga ingin berdiri dan membalas. Tentunya hal yang dipikirkan Rena, selamanya tidak akan pernah terjadi.

“Aduh! Sakit!”

“Yak! Kau pikir aku tidak mendengarnya. Kerjakan dengan benar.”

Dengan wajah yang tambah cemberut Rena memandang ke sekitar dan memperhatikan dua pegawai rumah Gomet lain menyikat sisi lain kolam. Wajah mereka entah kenapa tidak terlihat semenderita Rena dan itu bikin dia makin jengkel. Dengan gerakan membabi buta Rena menyikat dengan keras, tidak memedulikan bagaimana ada cipratan air yang mengenai wajah Draco.

“Heh! Pelan-pelan! Kau akan mengenai wajah tampanku.”

Dengan bodo amat Rena terus menyikat dengan gerakan semakin cepat, bersikap seakan Draco tidak ada di dekatnya dan membiarkan semakin banyak cipratan tercipta. Apa yang dilakukannya ternyata membuahkan hasil karena Draco yang tidak lama pergi dari hadapannya untuk membersihkan wajah. Bagus, karena setidaknya Rena tidak perlu mendengarkan ocehan menyebalkan malaikat maut itu sembari bekerja keras.

Rasanya tuh kayak tidak jauh beda dengan mengerjakan remidial dengan diejek oleh anak paling pintar sekelas. Menyebalkan namun nyatanya dia tidak bisa melawan karena ejekannya itu benar.

“Hah!”

Rena mendesah dengan keras lalu menjatuhkan bokongnya ke lantai kolam dan menatap ke atas, sama sekali tidak peduli bagian belakang bajunya akan basah. Pemandangan langit dan awan mendung yang selalu menyelimuti rumah Gomet langsung memenuhi mata. Rasanya menyejukkan karena bagaimanapun Rena tidak perlu merasakan teriknya matahari yang akan menyakitkan mata dan membuat kepala pening di jam seperti ini.

PEMBATAS SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang