Malam Pertama

537 41 4
                                    


"Papa..."

"Hm?"

Jeno memang belum memejamkan matanya walau waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Karina, Jaemin, Chenle dan Bunda Anna sudah lelap tertidur di tenda dengan selimut hangat nan nyaman. Sedangkan Papa Jo? Dia malah menambah kayu bakar agar mereka tetap hangat. Malam ini, mereka jadi tidur di tenda bersama-sama karena cuacanya yang bagus dan tidak hujan.

"Kenapa belum tidur? Papa tidak mengantuk?"

Papa sebenarnya ingin mengeluarkan rokoknya namun ia mengurungkan hal itu karena ada Jeno di sekitarnya. Dia sudah berjanji pada istrinya bahwa dia tidak akan merokok jika ada Bunda atau anak-anak sekitarnya. Setidaknya, jangan membiarkan orang lain menjadi perkok pasif, itu adalah pesan dari Bunda Anna yang selalu Ayah terapkan.

"Papa cuma mau nikmatin suasana aja. Jarang-jarang kita bisa rasain hal kayak gini."

Papa merebahkan dirinya di atas rumput yang sudah dilapisi dengan karpet kedap air. Dia menghirup udara segar sambil menatap bintang di langit.

"Papa dulu gimana cara ambil hati Bunda? Bunda dulu sempat bilang sama aku kalau dia belum siap buat menikah. Kenapa Papa bisa buat Bunda yakin kalau Papa gak bakalan kayak Ayah dulu?"

"Kenapa Bunda kamu harus ragu sama Papa? Bunda kamu memang ragu karena itu kami buat perjanjian hitam di atas putih."

"Maksudnya?"

Papa Jo terkekeh sebentar melihat raut Jeno yang begitu penasaran dengan kisahnya bersama sang istri.

"Jadi Bunda kamu itu dulu kasih persyaratan. Kalau Papa menyanggupi persyaratan itu, kita bakalan nikah. Coba kamu tebak, apa persyaratannya?"

"Memangnya apa, Pa?" Jeno terlihat tidak sabar dan ingin segera mengetahui jawabannya.

"Sebentar," kata Papa.

Begitu Jeno membaca isi dari surat perjanjian yang berbentu dokumen digital di ponsel Papa, Jeno langsung terbelalak.

"Kalau Papa selingkuh, melakukan kekerasan atau hal yang dapat merugikan Bunda, Bunda berhak dapat kompensasi dari sebagian harta Papa. Selain itu, Papa juga akan kehilangan hak asuh kalau nanti kita punya anak. Hal yang paling ekstrem adalah, Bunda minta hasil penjualan organ tubuh Papa."

"Apa?"

Jeno tentu saja terkejut. Apa benar Bundanya seperti itu?

"Iya, benar. Di dalam perjanjian ini, Bunda berhak menerima uang kompensasi jika Papa melanggar kesepakatan yang sudah disepakati kedua belah pihak. Artinya, Bunda kamu gak bakalan membiarkan Papa buat selingkuh karena dia sendiri yang mempersulit Papa buat selingkuh. Oh ya, hal ini juga berlaku buat Bunda kamu. Kita sudah saling sepakat tentang hal ini."

"Jadi karena hal itu Bunda bisa percaya sama Papa?"

"Jangan lupa kalau Bunda kamu sudah mengintrogasi Papa sebelum nikah. Bunda kamu itu mengecek semua buku tabungan, cicilan, asuransi, investasi, uang untuk biaya hidup, biaya pensiun dan biaya lainnya. Bunda kamu gak bakalan percaya kalau Papa bilang mau menikahi dia. Bunda kamu lebih percaya sama data yang Papa punya."

Wow, Bunda sangat realistis.

"Papa gak marah? Papa gak cap Bunda sebagai wanita matrealistis?"

"Tentu saja engga, Jen. Justru Papa bangga karena Bunda kamu itu berfikir secara rasional. Sebelum kami menikah, kami sudah melakukan pembicaraan yang dalam, tentang berbagai hal seperti pola asuh anak, cara komunikasi satu sama lain, tempat tinggal, masa depan dan masih banyak lagi. Papa saja sampai lupa dengan semua hal itu. Nanti akan Papa ceritakan lagi kalau Papa sudah mengingatnya."

Untuk pertama kalinya di dalam hidup Jeno dia melakukan pembicaraan yang intens dengan Papa Jo. Jeno merasa jika dia mendapatkan banyak cerita dan hal baru dari apa yang diceritakan oleh Papa Jo. Bahkan, dia juga mengaku bahwa dia menyukai seoran gadis. Papa Jo sudah bisa menebak siapa gadis itu. Oh, tentu saja. Papa Jo ini sangat memperhatikan Jeno bahkan untuk hal sederhana sekalipun.

"Pa... Aku belum pernah nembak cewek. Ini rahasia, sebenarnya aku takut kalau bakalan nyakitin pacar aku nanti. Ada rasa trauma dari Ayah dulu."

Papa Jo faham. Walau Jeno terlihat baik di luar, belum tentu dia balik di dalam. Bagaimana pun juga, Jeno pasti merasa trauma dengan sosok temperamental Ayahnya.

"Teruskan, Papa mendegarkan."

Papa masih mempertahankan kontak matanya dengann Jeno agar anak itu merasa diperhatikan.

"Aku gugup, Pa. Gimana caranya buat nembak cewek? Apa aku bakalan bisa jaga pacarku nanti? Aku takut bakalan bersikap seperti Ayah kalau aku hilang kendali."

Papa tersenyum mendengarnya. Lalu dia merangkul Jio dan menepuk-nepuk bahu anaknya itu.

"Sini, biar Papa kasih tahu rahasianya."

Mereka hampir menghabiskan malam dengan berbagi cerita dan trik terutama untuk urusan Jeno yang ingin menyatakan cinta pada gadis incarannya. Papa juga menulis catatan kecil tentang apa yang harus dia lakukan pada Jeno, Jaemin dan Chenle.

"Kalian ngapain? Ayo tidur."

Bunda Anna yang merasa bahwa kedua jagoannya yang lain belum memasuki tenda segera saja mencari kedua orang itu. Syukurlah mereka tidak pergi kemana-mana. Bisa saja kan putranya itu mengajak suaminya untuk mencari belalang di malam hari. Siapa tahu, bukan?

"Iya Sayang."

Papa Jo memastikan sekali lagi kalau api unggun mereka cukup aman. Jika keadaan tidak memungkinkan, mereka akan pindah ke dalam villa. Benar saja, pukul dua pagi, satu jam setelah Papa dan Jio masuk ke dalam tenda, hujan mulai menyapa. Jadilah, Bunda digendong Papa Jo, Chenle digendong oleh Jaemin dan Karina digendong oleh Jeno.

Sampai pagi hari gerimis masih saja setia turun dengan eloknya membuat siapa saja enggan berpisah dengan kasur nan hangat dan nyaman.

"Jeno?"

Karina terbangun dari tidurnya dengan hati yang malas. Dia masih ingin bergelung dengan selimut. Kenapa lelaki ini membangunkannya sepagi ini? Karina melirik jam dinding, masih pukul setengah enam pagi.

"Mau jalan-jalan?"

Karina kembali membenamkan wajahnya di bantal. Sedangkan Jeno? Lelaki itu mengikuti saran Papa untuk mengganggu tidur Karina dengan membisikkan sesuatu di telinganya.

"Karina, kamu sangat cantik. Jadilah pacarku."

Papa, Bunda, Jaemin dan Chenle yang sedang mengintip mereka berdua sedang menahan tawanya. Tak disangka saja jika mereka juga mengabadikan momen itu untuk kenang-kenangan.

Sedangkan Karina?

Apa yang terjadi pada gadis itu?

"Apa kamu bilang?"

Jeno seketika gugup lalu dia mengeluarkan senjata terkahirnya yang sudah dia pelajari dari Papanya.

"Ini!"

Jeno menekuk lututnya dengan kedua tangan mengarah ke Karina sambil memegang kartu berwarna hitam.

"Itu adalah bukti bahwa aku tidak hanya mencintaimu, tapi aku juga siap untuk membahagiakanmu. Ini pembuktian dari hasil keringat, air mata dan darah."

Karina tersentuh. Baru kali ini dia merasa sangat bahagia karena dia mendapatkan pernyataan cinta sekaligus dengan bukti yang nyata.

"Ah!!! Aku cinta uang!!!"

Namun, haruskah dia mengatakannya secara terang-terangan di depan Jeno?

"Setidaknya katakan kalau kamu juga cinta padaku," gerutu Jeno. Namun Karina malah semakin bahagia saat dia bisa menggenggam kartu hitam yang selama ini hanya hinggap di benaknya saja.

"Aku cinta uang, aku dan kamu."

Well, setidaknya Karian sudah mengatakan jika dia mencintai Jeno, bukan?

Finally mereka jadian.

End?

Jeno AldebaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang