Despacito

570 65 0
                                    


"Pelan-pelan aja... Jangan kasar gitu"

Jeno mengambil tisu untuk menghapus air mata Karina yang jatuh di pipinya karena Karina membersihkan air matanya dengan bringas.

"Sudah, kalo mau nangis, nangis aja. Puasin nangisnya. Ada aku di sini."

Jeno bahkan membuka kaosnya karena tisu saja tidak cukup untuk menampung banyaknya air mata Karina.

Mereka sedang berada di lapangan basket. Karina memaksa ikut kemari karena dia butuh tempat agar bisa mengeluarkan semua air matanya. Dia tidak mau orang tuanya khawatir jadinya dia enggan menangis di kamar.

Memangnya kenapa Karina menangis?

"Memangnya, kamu kenapa nangis, sih? Patah hati?" Sejak tadi memang dia tidak tahu kenapa Karina ini menangis.

"Gong Yoo Oppa!!!"

Jeno mendengus kesal. Dia fikir ada sesuatu hal yang membuat Karina patah hati.

Eh, tapi memang benar sih jika Karina patah hati. Patah hari karena Gong Yoo yang main di film Train to Busan meninggal di akhir film. Jeno sudah pernah menonton film itu bersama Bundanya dan Jaemin beberapa tahun yang lalu. Bahkan, dia juga sudah pernah menonton yang Train to Busan Presents Peninsula.

"Kamu gak tahu rasanya. Kamu gak ngerti, Jen."

"Iya, iya. Aku memang gak tahu dan aku juga gak ngerti tetapi, kalau kamu lagi sedih begini bikin aku juga ikutan sedih. Sini aku peluk."

Mereka berbaring di lapangan basket sambil menatap bintang, dada bidang Jeno menjadi bantalan untuk Karina, rasanya nyaman sekali. Angin malam sungguh hebat dalam membuat Karina menggigil namun suhu tubuh hangat Jeno membuatnya merasa tetap hangat. Mereka dalam posisi itu selama sepuluh menit lalu Jeno mengajak Karina untuk membeli sesuatu yang manis untuk memperbaiki suasana hati.

"Biar gak sedih lagi."

Karina memegang minuman bobanya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya bertautan dengan tangan Jeno. Mereka menikmati suasana jalanan malam. Ibu dan Ayahnya memang tidak pernah khawatir jika dia keluar malam dengan Jeno.

"Setiap hari berapa lama kamu latihan basket?"

Jeno menaruh kepalanya di pucuk kepala Karina, sesekali dia usap kepala wanita yang lebih tua itu sambil mengingat-ingat jadwal main basketnya.

"Kadang cuma satu atau dua jam. Ada apa?" Mereka duduk di kursi yang disediakan di trotoar sambil memperhatikan lalu lalang kendaraan.

"Pasti sangat melelahkan. Selain sekolah kamu juga harus kerja dan latihan basket."

Jeno tersenyum lalu menenggelamkan wajahnya di rambut Karina yang terasa menenangkan karena wangi shampoo yang dipakai gadis itu.

"Pasti melelahkan tapi aku beruntung karena menikmatinya. Maksudku, ini adalah hal yang aku sukai jadi walau aku lelah aku tetap menikmatinya."

Karina mengangkat gelas bobanya menyuruh Jeno untuk mencicipi dan dilakukan oleh lelaki berotot itu dengan senang hati. Mereka sudah biasa berbagi minuman seperti itu. Berharap saja salah satunya tidak menularkan penyakit apapun, seperti flu misalnya. Ah, mereka percaya diri kalau mereka sehat dan juga sedikit ada bumbu-bumbu kasmaran.

"Aku iri padamu, Jen."

"Iri dalam hal apa?"

"Kita itu seumuran, masih belia banget tapi hidup kamu terarah banget bukan kayak aku yang labil, moody-an, mager dan gak suka betah di zona nyaman. Sedangkan kamu benar-benar kebalikan dari aku dari segala hal. Kamu pekerja keras, terarah, disiplin dan produktif."

Jeno mengambil tangan Karina sesudah meminta izin pada gadis itu, dia mengecup pelan punggung tangan Karina lalu mengelusnya dengan lembut.

"Kamu kenapa, sih? Setiap orang bukannya punya time zone sendiri? Kalau kamu bandingin aku dan kamu tentu aja itu beda, Rin. Itu kayak bandingin apel sama jeruk. Kalau mau bandingin diri kamu ya sama diri kamu sendiri. Apa kamu sudah lebih baik dari hari kemarin? Kalau kamu bandingin diri sendiri sama diri sendiri itu adalah hal yang lebih tepat dari pada kamu bandingin diri sama orang lain."

"Terus, perasaan aku iri ke kamu itu salah, gitu?"

Karina sudah cemberut mendengar respon Jeno. Jeno dengan cepat menambahkan penjelasannya.

"Mungkin sebaiknya kamu mennjadikan aku motivasi buat kamu, Rin. Kita sama-sama belajar dan berusaha dalam memperjuangkan apa yang mau kita perjuangin. Gak ada istilah kamu hanya dukung aku dan aku hanya dukung kamu karena kita bakalan saling dukung satu sama lain di bidang yang mau kita perjuangin."

Karina mau tak mau merasa sangat terharu dengan apa yang dikatakan oleh Jeno. Walau dia sudah tahu mengenai hal itu tapi rasanya tetap berbeda jika kalimat itu dikatakan oleh orang lain. Kalimat itu terasa lebih berefek jika didengar. Rasanya, dia menjadi lebih bersemangat.

"Tapi, apa aku bisa?"

Jeno kali ini kembali pada posisi duduknya, dia menggenggam kedua tangan Karina sambil berkata, "Pelan-pelan aja, nikmati semua proses karena salah satu hal yang sulit dijalani itu adalah sebuah proses. Banyak orang yang benci proses dan hanya ingin proses cepat berlalu menuju hasil. Itu hanya akan bikin kita tergesa-gesa dan gak menikmati apa yang terjadi di sekitar kita. Sekarang, pelan-pelan saja. Lakuin semua tahapannya. Ingat dua rumus. Pertama, berusaha kedua berdoa. Sisanya, biarkan Tuhan yang mengerjakan bagiannya karena dia yang menilai, mengatur dan memberi manusia. Jangan serakah terhadap hasil yang dikasih sama Tuhan. Untuk setiap hari yang kita lalui, selalu ucapkan terima kasih karena itu bikin hati kita penuh dengan rasa bahagia."

Jeno meletakkan kedua tangan Karina di bahu gadis itu secara tersilang, butterfly hug.

"Jangan lupa, ucapkan terima kasih sama diri sendiri karena sudah bekerja keras. Jangan lupa buat cintai diri sendiri karena itu adalah hal pertama yang harus kita lakukan agar hidup terasa jauh lebih baik dan biarkan diri kamu bahagia karena sudah merasa dihargai dan dicintai oleh diri kamu sendiri."

Jeno tidak mengatakan itu dengan percuma. Itu semua karena dia juga pernah berada di posisi Karina. Walau kejadian yang dia alami tidak sama persis tapi setidaknya dia faham perasaan itu. Dia dulu melewati semua itu sendiri. Jeno merasa beruntung karena dia mendapatkan bantuan dari banyak sisi. Entah itu dari kesadarannya sendiri atau kepekaannya dalam menangkap pola sebuah intuisi yang ada di sekitarnya.

Oleh sebab itu itulah Jeno memahami bagaimana sulitnya melalui semua itu sendiri.

Tidak hanya Karina yang merasa bahagia dan lega karena mendapatkan suntikan energi yang diberikan Jeno tapi Jeno juga merasa lebih istimewa dan bangga sebagai seorang manusia karena dia mampu memberikan kebahagiaan kepada orang lain.

Satu hal yang menjadi catatan untuk Jeno dan Karina hari ini adalah, secara pelan tapi pasti, perasaan mereka mulai saling terkoneksi bagai melodi yang menari di dalam kepingan hati yang mulai saling mengisi.

...

Bagaimana hari kalian? Semoga sehat dan bahagia, ya. My Universe, good night~


Jeno AldebaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang