"Apanya yang besar, sih? Kamu suka pisang yang besar?"
"Tentu saja aku suka yang besar, memang apalagi? Kamu tidak suka?"
Jeno menyerngitkan hidungnya. Dia tidak suka dengan bau pisang. Padahal dulu kalau kata Bunda Anna, dia itu selalu mengidam pisang selama masa hamil. Saat Jeno sudah besar, malahan anak itu seperti mengibarkan bendera perang pada tumbuhan yang bernama pisang.
"Padahal enak lo, Jen."
Jeno melanjutkan menebang pisang dengan parangnya. Hari ini dia memang ke kebun bersama Ayahnya Karina. Karina sendiri jarang pergi untuk melihat kebun milik Ayahnya, kebetulan sekali hari ini ada pisang yang matang, jadi mereka ingin mengambilnya.
"Rin. Karungnya dimana?"
"Di aku, Yah."
Karina berjalan menggunakan sepatu bootsnya. Dia juga mengenakan caping di kepala supaya tidak kepanasan dan silau.
"Ayah!!! Kenapa pohon pisangnya ditebang??"
Karina bahkan sampai menghalangi Ayahnya yang hendak menebaskan parangnya kembali ke dahan pisang.
"Rin, pisang itu cuma berbuah sekali. Kalau sudah berbuah memang harus ditebang, nak. Nanti tunasnya akan tumbuh lagi. Coba lihat di sini."
Ayahnya menunjuk tunas muda pisang yang masih kecil berukuran sekitar dua puluh sentimeter. Karina terlihat masih terkejut namun dia dengan cepat memahami situasi.
"Jadi, memang seperti itu, ya?"
Dia bertanya lagi untuk memastikan.
"Iya, nak. Sudah faham?"
"Aku sudah faham, Ayah."
Karina memasukkan satu-persatu pisang yang sudah ditebang ke dalam gerobak kecil buatan Ayahnya sendiri. Pisang-pisang itu harus dipindahkan ke atas mobil pick up. Ada sekitar dua puluh tandan pisang kapok.
"Rin, biar aku saja."
Karina yang tadinya ingin mengangkat satu tandan pisang ke atas mobil pick up langsung berhenti ketika Jeno yang mengambil alih pekerjaannya.
"Apa kamu sendang mencuri pekerjaanku?"
Jeno terlihat bingung dengan pertanyaan Karina.
"Aku hanya membantumu."
"Apa sudah selesai, Rin?"
Ayahnya datang dari arah kebun sambil membawa beberapa singkong.
"Sudah, Yah. Ada dua puluh tandan pisang."
"Ya sudah, nanti kita jual ke Mbah Soman."
Mbah Soman nantinya akan membawa pisang itu ke pasar untuk dijual lagi.
"Yah, aku biar duduk di belakang saja, ya?"
"Iya, terserahmu saja. Jangan bertingkah, nanti terjatuh lagi. Ayah tidak akan tanggung jawab."
"Iya..."
Percayalah, Ayahnya hanya bercanda saja. Nyatanya, dialah laki-laki paling menjaga dan mengayomi Karina walau anak perempuan itu terlihat sangat begajulan di mata Ayahnya sendiri. Jangan salah, walau begitu Karina juga menempatkan Ayahnya di posisi kedua paling puncak setelah Ibunya.
"Aku juga duduk di belakang, Yah."
"Kamu yakin?"
"Iya."
"Baiklah, kalau begitu."
Mereka sampai di rumah Mbah Soman setelah lima belas menit berkendara. Ayahnya membagi upah untuk Karina dan Jeno. Anak itu terlihat sangat terkejut karena mendapatkan upah dari pekerjaannya.
"Kamu sudah membantu, Ayah. Terima kasih, ya, Nak."
"Aku hanya tidak menyangka jika Ayah akan memberiku upah. Terima kasih, Ayah."
Bagi Jeno, kadang dia melakukan sesuatu tanpa ada ekpektasi mendapatkan upah. Buk
"Ayo pulang, ini sudah hampir senja."
Ibu memasak sayur labu, ikan asin dan sambal terasi. Ah, ada juga bacem dan peyek udang yang renyah. Mereka makan bersama termasuk dengan Jeo setelah membersihkan diri. Ternyata, uang yang tadi dia dapat setelah membantu Ayah di kebun pisang, dihadiahkan ke Ibu Karina.
Ibu Karina memang ingin sekali makan sate hari itu. Jadi, Jeno membeli satu sebanyak lima puluh ribu untuk Ibu.
"Terima kasih ya anakku sayang."
Ibu bahkan berulang kali menciumi wajah Jeno, betapa bangga dan terharunya dia memiliki anak seperti Jeno. Meski itu adalah anak tetangga.
"Ibu, sebenarnya siapa anak kandung Ibu?"
"Yang jelas bukan Ayah," celetuk Ayahnya Karina dan membuat semua orang yang berkumpul di ruang makan itu tertawa karena guyonan Ayah.
"Ibu juga beli pisang?"
"Iya, tadi ada nenek-nenek yang menjual pisang. Ibu tidak tega tidak membeli dagangannya."
Karina sudah hafal luar biasa dengan karakter Ibunya yang tidak tega melihat pedagang tua berjualan seorang diri.
Karena Jeno tidak suka pisang, jadi Karina yang menghabiskan jatah pisang milik Jeno. Pisang raja itu dipelototi oleh Jeno ketika Karina sedang memakannya.
"Apa enaknya pisang itu?"
Karina tersenyum lalu menggoda Jeno.
"Tentu saja ini enak."
Jeno menutup hidungnya saat Karina mendekatkan pisang itu ke wajahnya.
Jika saja bukan di depan Jeno, pasti karina enggan untuk memakan pisangnya karena dia mempunyai pengalaman buruk terhadap buah manis kesukaannya itu.
"Jeno?"
"Hm?"
"Apa aku terlihat sexy saat memakan pisang?"
"Apa yang sedang kamu bicarakan sih, katakan dengan jelas. Apa ada orang yang mengganggumu?!"
"Terima kasih karena sudah tidak berfikiran negatif saat aku makan pisang."
"Hah? Apa? Kemari! Katakan dengan jelas biar aku gilas orang lain yang berfikiran mesum padamu."
Jeno itu, dia selalu berusaha untuk menjaga Karina dari hal-hal buruk dan juga orang yang berniat jahat padanya.
Itu adalah sebuah tindakan yang selalu membuat hati Karina menghangat. Sikap Jeno yang selalu dapat menghangatkan hatinya lewat semua sikap positif dari lelaki itu.
Kadang Karina berfikir, apa kekurangan Jeno? Tidak mungkin bukan jika manusia itu sempurna? Sampai hari ini yang dia temui dari sikap Jeno hanyalah kesempurnaan sebab itulah dia selalu merasa penasaran tentang kekurangan pria itu.
...
Hai, My Universe.
Kapan terakhir kali kalian main ke sawah/kebun? Seru loh!
Di sini sering banget ujan, di tempat kalian gimana?
Sehat dan bahagia terus ya, My Universe.
Love, Aisekai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeno Aldebaram
RomanceKarina, si anak dari keluarga cemara dan Jeno si anak dari keluarga broken home. Bukan kesempurnaan yang mereka cari. Namun, kekurangan yang satu sama lain yang saling dilengkapi. Thanks to do not plagiat and remake #jeno #karina #nct #aespa #ff #...