Prolog

238 44 9
                                    

"Gratis buat lo. Ya ... meskipun ini hasil gue ngutang di warung depan." Jemarinya yang terselip batang rokok terulur, mengundang Laith untuk meraihnya.

Kerutan jelas tergambar di dahi Laith. Seorang perempuan antah-berantah dengan pakaian serba minim bahan, subuh-subuh pula, menawarkannya rokok hasil utang tanpa ragu. Namun tak ayal, Laith mengurungkan niat mengakhiri hidup karena itu.

Memang benar Laith hendak mengakhiri hidup tadi. Lompat dari jembatan di saat orang lain berebut shaf terdepan jamaah salat Subuh.

"Lo tahu?" Perempuan itu bertanya tiba-tiba sambil menyandarkan punggung pada pembatas jembatan. "Gue takut mati. Gue pernah baca quotes, kurang lebih isinya gini, 'Jika semua orang tahu bahwa di akhirat tidak ada wifi, apa mereka masih ingin masuk surga?'. Oh ... big no kalau gue. Mending gue hidup, kan?"

Tawa perempuan itu berderai, menertawakan pikirannya sendiri. Sementara Laith langsung memandang tak suka.

"BTW, nama gue Nuha," lanjutnya.

Tak mempedulikan sedikit pun Laith saat perempuan tersebut memperkenalkan diri. Ia lebih terusik dengan kalimat perempuan itu sebelumnya.

"Kenapa kamu seakan mudah membuat lelucon tentang semua itu? Kamu menganggap bahwa Tuhan dan alam malakut-Nya lelucon?" Tangan Laith terkepal kuat di sisi tubuh. Bahkan selinting rokok yang ia genggam pun sudah tak karuan bentuknya.

Lagi-lagi Nuha terbahak, lebih keras, semakin memecah sunyi subuh ini. "Dasar nggak ngaca! Idyzraf Laithul Ghayth, lo pikir apa yang barusan mau lo lakuin? Memuja Tuhan? Mengagung-agungkan Tuhan? Nggak! Bunuh diri! Cih! Lo juga lagi ngajak Tuhan bercanda? Wow."

Ucapan itu menghantam Laith dengan telak. Sementara si pelontar kalimat tersenyum penuh kemenangan. Benar, Laith lebih tidak tahu diri.

"Kamu ... dari mana kamu tahu namaku, Nuha?"

Subuh ini, Nuha pergi tanpa meninggalkan jawaban, menyisakan tanya. Sementara Laith, memandangi batang rokok di tangannya dengan gamang, sebelum menerbitkan senyum tipis. "Nuha."

-o0o-

Ingat Laith, kan? Yaps, adiknya Jauza Lafatunnisa di Ujung Tirani. Si anak mulut cabe yang suka cekcok sama Jauza. Jujur, cerita ini adalah cerita paling nggak direncanakan gara-gara aku nemu catatan kecil dalam book note. Padahal, rencananya mau lanjut ceritanya Hijir dulu. Tapi, ya udahlah, Mas Hijir bisa nunggu.

Wish you enjoy

Amaranteya

15th of February 2022

KelamkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang