24. Media Sosial

105 37 4
                                    

Pagi-pagi sekali Laith dibuat terkejut setelah membuka akun media sosialnya. Bagaimana tidak, untuk pertama kalinya sejak terhubung dengan sosok Nuha, baru ini ia mendapati perempuan itu membagikan cerita. Tertera keterangan cerita itu dibuat dua jam yang lalu, artinya pukul setengah empat tadi.

Dalam foto hitam putih itu, tampak beberapa orang yang tengah tertawa dengan satu pot besar tanaman di tengah-tengah. Hanya ada satu kalimat yang menyertainya, “Lihat, tanaman itu ikut tertawa”.

Laith mengernyitkan dahi dalam, tak paham dengan jalan pikiran Nuha yang semakin hari tampak semakin jauh. Perempuan itu seolah memiliki orbitnya sendiri, porosnya sendiri. Jika banyak orang dilihatnya berada pada semesta yang sama, tidak dengan Nuha.

“Tanaman tertawa?” Laith terkekeh. “Aku yang tertawa, Nu. Selain mirip Mbak Zaa, kamu juga mirip Ayah lama-lama.”

Baru akan menutup aplikasi media sosial tersebut, Laith buru-buru tersadar. “Dia overtime lagi?”

Sejujurnya, Laith ingin menghubungi perempuan itu, tetapi urung karena takut mengganggu. Ia meletakkan ponsel sembarang di atas ranjang, lalu bangkit mendekati pintu saat tiba-tiba suara gedoran pelan terdengar.

Saat pintu terbuka, Yita langsung masuk dan naik ke atas ranjangnya, lompat-lompat. Laith melongo, sedang sang kakak yang juga berdiri di ambang pintu tersenyum lebar.

“Ith, hari ini kamu nggak ada mata kuliah, kan? Mbak titip Yita, ya? Mbak mau urus masalah Oryza sama temennya Hijir hari ini.”

Pemuda itu memejamkan mata sejenak sebelumm menyunggingkan senyum paksa. “Oke, tapi jangan protes.”

Mata Zaa memicing. “Protes kenapa?”

“Ya mungkin Mbak larang Yita makan ini-itu. Kalau sama aku kan, apa aja ayo, asal dihabisin.”

Sudah Zaa duga. Meski begitu, ia mengangguk mantap. Toh, ia tak pernah strict masalah makanan pada Yita. Selama bukan yang membahayakan, Zaa membebaskan.

Uncle, someone’s calling you.” Ucapan Yita membuat Laith dan Zaa fokus padanya. Anak itu sudah berdiri tenang sambil memegang ponsel Laith yang berbunyi dengan nada pelan itu.

Laith mendekat, meminta ponselnya pada Yita. Tertera nama Nuha di sana. Suatu kebetulan yang lumayan menggembirakan pagi ini.

Berniat mengajak Yita keluar dari kamar sang paman, Zaa ikut masuk, berdiri di samping Yita sambil mengulurkan kedua tangan pada anak itu.

“Halo, assalamu’alaikum, Nu. Ada apa?” ucap Laith begitu tersambung.

Balasan salam terdengar dari seberang. Zaa yang tak dapat mendengarnya hanya menaikkan sebelah alis.

Yita masih sibuk terkikik karena sukses menghindari tangan sang mama.

Laith menoleh pada Zaa seketika. “Iya, ada. Ini Mbak Zaa di samping aku, tapi katanya nanti mau pergi, ada urusan. Kenapa emangnya?”

“Ada apa?” tanya Zaa tanpa suara, membuat Laith mengedikkan bahu.

“Ya udah, ke sini aja. Mau aku jemput?” lanjut Laith.

Tanpa terduga, Yita berlari ke arah Laith dan menubruk tubuh lelaki itu, membuatnya sedikit terhuyung ke belakang sambil menahan tubuh Yita agar tak jatuh.

“Yita,” peringat Laith, ditanggapi tawa anak itu.

Sorry, Nu. Ada si reseh. Ya udah, hati-hati di jalan.”

Panggilan pun terputus.

“Kenapa?” Kembali Zaa bertanya.

Laith mendekat kembali ke arah ranjang dan menurunkan Yita di sana. Namun, anak itu tak mau. dipeluknya erat-erat leher Laith.

KelamkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang