11. Gadis Prostitusi

106 38 3
                                    

Nuha melipat tangan di depan tubuh, sedang wajahnya sudah melongo, tak menyangka pertanyaan semacam itu akan keluar dari bibir seorang anak kecil. Nadanya pun ketus.

“Gue?” Setelah menunjuk diri sendiri, Nuha lantas menunjuk Laith. “Dia yang manggil gue ke sini.”

Ekspresi Yita tak bisa tak cemberut. Mendapati perempuan itu mengganggu waktunya dengan sang paman menyebalkan baginya.

“Yita, she’s my friend, ok?” bela Laith.

Anak laki-laki itu semakin cemberut, ujung-ujung bibirnya melengkung ke bawah dengan sempurna. Tak lama, isakan mulai lolos. Ayolah, apa Yita sesensitif itu hanya karena Laith memiliki teman?

Semakin dalam Yita menenggelamkan wajah dalam dekapan Laith, membuat Nuha memutar bola mata malas sambil berdecak. “Anaknya Mbak Zaa bisa caper juga. Padahal ibunya anti banget.”

Ingin menyangkal, tetapi yang dikatakan Nuha memang benar. Biarlah, anak kecil.

Nuha lantas ikut duduk di samping Laith. Tanpa sadar, tangannya bergerak mengelus pucuk kepala Yita. Tatapan sinisnya berubah lembut seketika. Meski tak menyukai anak kecil, entahlah. Nuha tertarik dengan anak itu, mungkin karena Yita adalah putra dari seseorang yang selama ini sudah dianggapnya kakak.

Hal itu jelas mengundang kerutan dari dahi Laith. Aneh saja.

“Dia nggak bisa ngomong normal?” Menyadari pertanyaannya, Nuha segera meralat, “Maksud gue, pakai bahasa Indonesia.”

“Untuk some cases, bisa. Misal panggilan ke orang lain sehari-hari. Dasarnya Yita paham kalau kita ngomong bahasa Indo, tapi kalau diminta balas pakai bahasa Indo juga, dia kesulitan,” jelas Laith.

Nuha mendesah panjang. “Mentang-mentang dulu Mbak Zaa tutor bahasa Inggris, anaknya ikut kena imbas.”

Kekehan kecil tak bisa disembunyikan Laith. Benar, bisa dibilang Yita terkena imbas Zaa dan Ikhtar yang sama-sama tergila-gila dengan bahasa yang satu itu. Jangankan Yita, Laith pun kena imbasnya. Namun, itu bagus juga. Karena Zaa, dibanding teman-temannya, Laith lebih fasih berbahasa Inggris. Efek mendapat tataran tiap malam.

Perempuan itu menarik tangannya.

Yita tak lagi bersuara, tertidur. Menyadari itu, Nuha terkekeh. “Ponakan lo ajaib banget.”

Bukannya membalas perempuan itu, Laith malah sibuk memeperhatikan Nuha. Lekat dan dalam.

“Kenapa?” Sebelah alis Nuha terangkat. Ia lantas melirik penampilannya, baik-baik saja. Belum ada yang berubah sejak subuh tadi, masih dress ketat di atas lutut berwarna peach.

“Kamu sangat berbeda dengan dia.”

Alis Nuha terangkat semakin tinggi setelah mendengar itu. Siapa maksudnya?

Laith mengalihkan pandangan ke pohon tulip afrika di depan sana. “Kamu bebas, sementara dia sangat tertutup, tapi … kenapa nasib kalian seakan tertukar?”

Nuha sama sekali tak mengerti. Ekspresi yang semula santai berubah serius seketika. “Maksud lo apa, sih?”

“Oryza berpakaian syar’i, tapi kenapa dia dilecehkan?” Laith kembali menoleh, menatap Nuha. “Sementara kamu? Kamu ….”

Tawa getir lolos dari bibir Nuha, ia paham maksud Laith meski tak tahu siapa itu Oryza. Sejenak perempuan itu memejamkan mata sebelum membalas santai, “Nggak mungkin gue dilecehin kalau tempat tinggal gue aja di tempat prostitusi. Yang ada, gue yang nyodorin diri kali, dapat duit.”

Mata Laith membulat sempurna, ia baru sadar sudah salah berkata. Sungguh, ia tak bermaksud, ia terbawa kekalutan pikirannya.

“Nuha … nggak, maksud aku bukan begitu.” Lelaki itu mencondongkan posisi duduknya, masih dengan memangku Yita yang tampak nyaman. Sorot matanya nanar, sarat penyesalan.

KelamkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang