19. Kekhawatiran Laith

105 41 5
                                    

Tiga hari sudah Laith dibuat uring-uringan. Selain karena mendapat pesan dari Gita bahwa Oryza ingin bicara, lelaki itu juga dibuat senewen karena Nuha menghilang tanpa bisa dihubungi. Akibatnya, pesan Gita pun diabaikan, tak menelepon Oryza balik juga.

Untung saja tiga hari ini tak ada tugas yang terlalu memberatkan dari kampus, Laith jadi bisa melampiaskan kekesalan dengan merebahkan diri seharian di atas ranjang, sambil menanti dengan harap-harap cemas Nuha akan membalas pesannya. Menyebalkan.

Untung lagi, hari ini weekend. Laith bisa mendatangi tempat Zaa tinggal untuk memastikan perempuan itu baik-baik saja.

Setelah mengunci semua pintu rumah, lelaki itu segera tancap gas menuju tempat Nuha. Sampai di sana, seperti sebelumnya, ia memarkirkan motor di tempat yang sama, depan warung.

Tak seperti yang Laith dugam rupanya tempat itu lebih ramai jika akhir pekan begini. Ada beberapa laki-laki yang dilihatnya tengah berbincang dengan perempuan-perempuan itu, bermesraan tepatnya. Jika bukan karena Nuha, ia malas.

Kebetulan, perempuan yang pernah dipanggil mami oleh Nuha ada di luar. Kesempatan emas bagi Laith untuk langsung bertanya tanpa celingak-celinguk dulu.

"Maaf, saya mau ketemu sama Nuha," ucapnya tanpa basa-basi.

Mami mengangkat alis tinggi, mencoba mengingat sosok pemuda di depannya. "Oh, temannya Nuha yang waktu itu."

Laith tersenyum canggung dan mengangguk.

"Cari aja ke dalam. Kamar paling ujung, pojok."

Kembali Laith mengangguk. Ragu dia melangkahkan kaki, takut mendengar hal-hal yang tak diinginkan. Namun sekali lagi, karena Nuha.

Menemukan kamar yang dimaksud, Laith mengintip karena memang ada celah, tak tertutup sepenuhnya. Laith jelas melihat sosok Nuha yang meringkuk, tampak kesakitan. Namun, setelah Laith membuka pintu lebih lebar, matanya melotot. Ada lelaki yang tengah membuka kancing kemejanya di sana.

"Shit!" Tanpa ragu Laith menerjang lelaki itu, memberinya tendangan.

Sebuah keberuntungan bagi Laith, lelaki itu mabuk, hingga membuatnya lebih mudah tumbang. Napas Laith memburu. Melihat lelaki itu mencoba bangkit dan melawan, ia segera mendaratkan pukulan tanpa ampun.

Kekacauan tak bisa dihindari. Beberapa orang mulai datang tak terkecuali mami.

"Ada apa ini?" pekik perempuan itu marah.

Laith tak kalah marah. Dipandangnya mami dengan sorot permusuhan, rahangnya mengetat sempurna, sedang tangannya mengepal kuat. Napasnya masih terus memburu.

Tak mempedulikan lelaki yang berhasil ia hajar dan kini tersungkur, Laith mendekati Nuha. Diguncangnya pelan tubuh perempuan itu.

"Nuha, bangun. Nu?" Mati-matian Laith menahan suaranya yang bergetar karena masih emosi.

Tak ada respons. Perempuan itu memejamkan mata erat. Bibirnya membiru.

Tak sengaja kulit Laith bersentuhan dengan kulit tangan Nuha yang tak tertutup lengan panjang, Laith berjengit.

"Allah, kamu demam tinggi, Nu," gumam Laith.

Tak memikirkan apa pun lagi, lelaki itu menyingkap selimut yang membungkus tubuh Nuha dan menggendong perempuan itu, membawanya pergi dari tempat itu.

Saat berpapasan dengan mami, ia sengaja berhenti sejenak dan berkata, "Sampai Nuha kenapa-napa, saya akan membuat kekacauan di sini."

Sepanjang jalan yang dilewatinya dengan berjalan kaki, banyak warga yang menatap awas. Pemandangan yang aneh melihat perempuan dalam gendongan Laith, terlebih itu Nuha, perempuan yang sudah mereka kenal betul.

KelamkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang