Saling pandang yang dilakukan mahasiswa mengundang raut bingung di wajah dosen yang duduk di belakang, mengawasi jalannya presentasi. Tak biasanya, terlebih para mahasiswa di kelas tersebut terkenal sebagai anak-anak aktif yang ambisius perkara nilai.
"Apa ada yang mau bertanya?" Sekali lagi kalimat yang sama terlontar dari bibir moderator sekaligus penyampai presentasi di depan, Oryza namanya. Mahasiswi berparas ayu dengan segudang bakat dan terkenal sebagai aktivis kampus.
Sekali lagi, tak ada tanggapan berarti. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keambisiusan orang-orang di dalam sana akan tenggelam jika menyangkut Oryza. Mereka tak mau repot-repot mengajukan pertanyaan pada kelompok di mana perempuan itu berada, terlalu riskan. Bukan jenius, tetapi perempuan itu pintar menjawab, membalikkan pertanyaan untuk membuat si penanya mati kutu.
"Baik kalau tidak ad--"
"Saya akan bertanya." Itu yang ditunggu, lawan sebanding Oryza. Pemuda berambut gondrong bergelombang dengan dekik di kedua pipinya. Pandangan semua anak terfokus pada pemuda itu seketika. Ah ... tak mengejutkan sama sekali.
Oryza tersenyum dan mengangguk. "Silakan, Saudara Laith."
Sedang Oryza tampak tak sabar mendengar pertanyaan Laith, bisa ditebak, teman sekelompoknya justru harap-harap cemas. Masalahnya, dua orang itu kelewat kompetitif. Bukan pada nilainya, tetapi baik Laith maupun Oryza sama-sama menguasai bidang tersebut, tergila-gila pula.
"Seperti yang Saudari sampaikan bahwa ada sebagian orang, di mana kata 'Islam' selalu dikonotasikan sebagai bentuk yang utuh antara doktrin dan praktik para pemeluknya. Dari kalimat itu, bukan hanya saya, pasti kawan-kawan di sini punya pikiran yang sama, kita bisa ambil kesimpulan bahwa Islam adalah dogma yang sama sekali tidak bisa diutak-atik di mana pun keberadaannya."
Meski fokus, tak ayal semua orang mengangguk juga.
"Padahal, kita tahu bahwa ada istilah akulturasi di mana hal ini berkaitan erat dengan yang namanya budaya lokal masing-masing daerah. Bisa mohon jelaskan hal tersebut?" lanjut Laith.
Sedang mahasiswa lain tersenyum menang, dosen hanya tersenyum tipis, lantas kembali mengetikkan sesuatu pada laptopnya.
Hatta, Oryza menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Sebelum menjawab, ia tersenyum lebar. "Maaf, penjelasan saya kurang detail rupanya."
Mendengar itu, Laith kembali menampilkan dekik di pipinya. Bukan ia tak tahu jawabannya, ia hanya suka mendengar Oryza berbicara. Lugas dan tepat sasaran.
"Islam memiliki karakteristik global, di mana Islam bisa diterima dalam setiap ruang dan waktu. Namun begitu, saat ia memasuki berbagai wilayah, maka karakteristiknya seolah menghilang. Ia melebur dengan berbagai unsur lokal yang ada.
"Berkaitan dengan doktrin dan praktik, ini yang tidak saya sampaikan tadi, dalam kajian lain, terutama tinjauan sejarah, hubungan doktrin dan praktik sebenarnya masih mengandung 'jarak' yang masih mungkin untuk dibedakan secara objektif.
"Seperti anjuran Marshall G. S. Hudgson bahwa setiap pengkaji Islam harus bisa membedakannya dalam tiga fenomena yang sudah saya sertakan dalam presentasi tadi. Islamic, Islamicate, dan Islamdom." Oryza mengakhiri jawabannya dengan embusan napas lega.
"Apa jawaban saya bisa diterima?"
Tanpa mengatakan apa pun, Laith hanya mengangguk disertai senyum lebar.
"Baik kalau begitu, saya cukupkan presentasi kali ini ...."
-o0o-
"Seperti biasa, jawaban Oryza nggak pernah mengecewakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelamkari
SpiritualBagi Laith, menghadapi pikiran kelewat normal ayah dan kakaknya saja sulitnya sudah setengah mati. Belum lagi tingkah dan kekritisan berpikir keponakan tercinta yang baginya lebih cerdas dibanding anak seumuran. Ini, hidupnya dibuat semakin kalang...