Di depan meja belajarnya, Laith memberanikan diri membuka kotak yang diterimanya dari Gita, pemberian Oryza. Seperti yang Laith duga, sebuah gelang berbahan emas putih.
Laith memejamkan mata erat-erat. Itu hadiah yang Laith berikan pada Oryza setelah memenangkan kompetisi karya ilmiah semester dua lalu. Gelang pasangan yang juga diberikannya pada sang ibu.
Secarik kertas terlipat menyertai gelang tersebut. Laith membukanya setelah meletakkan kotak di atas meja.
Untuk,
Idyzraf Laithul Ghayth
Kaifa haluk, Laith? Aku harap kamu dan keluarga senantiasa baik. Maaf tidak bicara langsung, malah menggunakan surat.
Aku harus mengembalikan pemberianmu ini, maaf ya. Aku merasa tidak berhak memilikinya, terlebih sekarang aku sudah bersuami. Berikan saja gelang ini pada perempuan yang benar-benar bisa mendampingimu nantinya, aku rasa ia lebih berhak.
Aku hanya ingin menyampaikan itu. Juga, sekali lagi, ikhlaskanlah aku layaknya Salman Al Farisi mengikhlaskan perempuan yang dia cintai untuk Abu Darda, sahabatnya. Meski kasus kita berbeda, aku yakin kamu bisa. Ini takdir, Laith.
Oryza Azkiyatul Fawwaz.
Kenapa rasanya masih begitu menyakitkan? Untungnya, tak ada lagi air mata yang mendesak keluar. Benar, Laith mulai terbiasa dengan rasa sakit.
Kembali ia melipat kertas itu, mengembalikannya ke tempat semula. Setelah menutup kembali kotak, ia menyimpannya ke dalam laci meja paling bawah.
“Tentu saja aku akan menjualnya suatu saat nanti, Oryza. Aku tidak mungkin memberikan barang yang sama pada perempuan yang kupilih nantinya.”
Laith kembali menatap dinding di depannya. Benar juga, mulai besok rumahnya akan sepi. Tak ada lagi celotehan Yita karena besok anak itu akan pulang bersama Zaa juga Ikhtar. Jika dipikir-pikir, sang kakak memang sudah terlalu lama berlibur.
Tak ingin terlalu lama larut dalam pikirannya, Laith memilih menenggelamkan diri dalam rangkaian kata yang diberikan Devi, ia harus belajar.
-o0o-
Ingar-bingar di luar sana tak mampu membuat pikiran Nuha teralih. Ucapan terakhir Hisyam terus terngiang di kepalanya. Ia tahu keluarga itu tak akan dengan mudah menjustifikasinya buruk hanya karena tinggal di tempat prostitusi, tetapi jika sampai sejauh itu, Nuha sungguh tak menduganya.
“Cepat atau lambat, Laith akan meminta saya melakukannya, Nuha. Pegang kata-kata saya.” Kembali kalimat itu terputar di otaknya.
“Bisa gila gue.” Perempuan itu mengacak rambutnya brutal.
Tak lama, terdengar ketukan pintu, lebih mirip gedoran saking kerasnya. Ogah-ogahan Nuha bangkit dan membuka pintu. Menyebalkan.
Baru saja memutar kenop pintu, langsung ada lelaki yang tersungkur. Nuha membulatkan mata sebelum berdecak keras. “Pelanggan Mami kebiasaan, deh. Nyasar ke sini mulu, mana mabok.”
Geram, Nuha menendang kecil kaki lelaki itu. “Bangun lo! Ish!”
Merasa percuma, akhirnya Nuha memutuskan menyeret lelaki itu keluar. Meski kepayahan, ia lebih tak nyaman lelaki itu menyentuh kamarnya barang seinci. Setelah berhasil, perempuan itu menepuk-nepuk kedua tangannya.
“Ngapain lo?” Mami yang tiba-tiba datang bertanya heran. “Tumben belum tidur, padahal udah jam dua pagi. Jangan-jangan mau ambil job sama salah satu orang di depan.”
Nuha memutar bola mata malas. Ia menujuk lelaki yang terkapar dengan dagu. “Pelanggan lo nyasar lagi ke kamar gue, Mi. Gedor-gedor pintu, tepar pula. Ambil job di sini? Ogah, bayarannya dikit. Mending ambil di luar.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelamkari
EspiritualBagi Laith, menghadapi pikiran kelewat normal ayah dan kakaknya saja sulitnya sudah setengah mati. Belum lagi tingkah dan kekritisan berpikir keponakan tercinta yang baginya lebih cerdas dibanding anak seumuran. Ini, hidupnya dibuat semakin kalang...