"Alamnya para malaikat." Zaa menyambar sebelum sang ayah sempat menjawab. Gondok sendiri Laith dibuat, tetapi tak ayal ia mengangguk juga.
Setelah mengubah posisi menjadi duduk tegak, lelaki dengan banyak keriput di wajah itu menambahi, "Malik, malak, muluk, malakut, malaikat. Begitu formasi lengkapnya."
Sedang Laith ternganga, Zaa dan Ikhtar masih menunggu lanjutan kalimat tersebut dengan tenang.
"Sebanyak itu?" Dua tangan Laith tertumpu pada paha.
"Sama seperti saat kamu membahas sejarah Islam, Ith. Banyak aspeknya," lanjut Ikhtar, membuat Laith melihat ke arah sang kakak ipar seketika.
"Al Malik, Maha Merajai. Malik adalah Allah itu sendiri. Malak adalah kekuasaan atau kekuatan daripada Raja. Sedang muluk adalah kerajaan Sang Raja." Lelaki bernama Hisyam itu memandang putra bungsunya lekat. Sedikit banyak, ia melihat sosok Zaa dalam diri pemuda itu, penuh rasa ingin tahu.
Meski tak menunjukkan ekspresi berarti, dalam kepala Laith aslinya sudah penuh kemungkinan-kemungkinan.
"Sebentar, oke, pelan-pelan, Yah. Otak Laith nggak kayak otaknya Mbak Zaa. Untuk Malik Laith paham, tapi malak, bisa tolong jelasin lebih jauh?"
Ucapan terkesan asal ceplos pemuda itu sukses mengundang tawa renyah Zaa. Akhirnya, sang adik mengakui bahwa ia lebih unggul.
"Zaa," peringat Ikhtar.
Perempuan itu tersenyum canggung. "Iya, Mas. Maaf."
Laith tak peduli, ia masih terus fokus pada ayahnya.
"Saat Allah berkehendak, maka kehendak-Nya ini akan menjadi kekuatan Allah. Kekuataan inilah yang nantinya disebut malak.
"Kehendak Allah ini beragam, Ith. Maka, malak-Nya pun beragam menurut fungsinya masing-masing. Contoh paling sederhana, Allah berkehendak atas mautnya seseorang, maka malaknya disebut malakul maut. Ini nanti yang biasa kita sebut dengan malaikat."
Sedikit banyak, Laith mulai paham.
"Masih ingat alam malakut, Zaa?" Pertanyaan Hisyam untuk sang putri itu agaknya mengundang keterkejutan. Namun tak urung, dijawab juga dengan anggukan.
"Alam bagi malak. Setara dengan alam arwah." Zaa menoleh pada Laith yang sudah menatapnya lekat. "Mbak punya rekomendasi film animasi bagus. Dengan catatan jangan cuma nonton, tapi pahami benar-benar."
Sebelah alis Laith terangkat tinggi. Apa hubungannya dengan animasi? Ia heran dengan kakaknya yang satu itu kadang. "Yang serius dikit dong, Mbak. Laith pengen tahunya serius loh ini."
"Mbakmu nggak bercanda, Ith." Atensi Laith beralih pada Ikhtar. "Mas jadi ikut nonton waktu Zaa bilang ada hal tersembunyinya. Memang benar, setelah Mas lihat, ada kaitannya dengan alam malakut, meskipun memang visualisasinya dibuat sesuai imajinasi manusia. Tinggal pintar-pintarnya kamu saja."
Mendengar itu, mata Laith berbinar, mengundang decakan keras lolos dari bibir Zaa.
"Dikasih tahu mbaknya nggak percaya," cibir Zaa. Kembali, Hisyam geleng-geleng kepala melihat itu.
"Apa judulnya, Mas?" tanya Laith.
"The Soul. Kamu cari aja."
Percakapan itu berakhir setelah anak lelaki berlari menghampiri Ikhtar. Sambil membawa sebuah raket yang jelas tampak sangat besar, anak tersebut tak henti berceloteh, "I have it. It's from grandma."
Melihat itu, Laith melotot lebar. Ditambah, setelah dilihatnya sang ibu yang menyusul dengan wajah semringah. "Ibu, jangan bilang raket yang dibawa Dayita itu raket Laith."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelamkari
SpiritualBagi Laith, menghadapi pikiran kelewat normal ayah dan kakaknya saja sulitnya sudah setengah mati. Belum lagi tingkah dan kekritisan berpikir keponakan tercinta yang baginya lebih cerdas dibanding anak seumuran. Ini, hidupnya dibuat semakin kalang...